Dalam masyarakat digital saat ini, perbedaan keyakinan rentan untuk memicu konflik. Ajaran agama yang seharusnya membawa kedamaian dan toleransi, kini justru menjadi pemicu dari konflik sosial yang terpolarisasi, khususnya di media sosial.
Polarisasi yang sederhananya dapat diartikan sebagai sebuah tindakan pemisahan dua kelompok ekstrem yang saling menolak, kini telah berdampak pada keberagaman agama dan budaya yang ada di Indonesia.
Hal tersebut kemudian melahirkan rasa ekslusivitas dari masing-masing penganut agama dan seringkali menunjukkan penolakan yang ekstrem pada penganut agama selain dari mereka.
Media Sosial dan Peranannya dalam Polarisasi Agama
Setiap masyarakat yang beragama mempunyai potensi untuk menjadi sasaran bahkan pelaku dari tindakan polarisasi, terutama masyarakat yang aktif di media sosial. Kemudahan berbagi informasi di zaman modern ini tidak sedikit dimanfaatkan sebagai sebuah sarana untuk menyebarkan hal-hal yang bersifat negatif.
Diantaranya ialah polarisasi sosial, penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan berkembangnya paham keagamaan yang ekstrem. Fenomena polarisasi agama bukanlah hal yang baru dan terus menjadi permasalahan setiap tahunnya.
Mulai dari aksi menuntut penangkapan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) atas dugaan penodaan agama tahun 2016 silam, hingga yang kini masih terbaru adalah aksi pembubaran jemaat Kristen di Padang yang menuai banyak kontroversi di kalangan netizen dunia maya.
Literasi Digital dan Kesadaran Bermedia
Saat ini, hampir seluruh masyarakat mempunyai kemampuan untuk mengakses internet atau media sosial. Terlepas dari dampak positif yang dibawa, hal ini juga sangat disayangkan karena memberikan pula dampak negatif yang cukup berbahaya.
Dari banyaknya sumber informasi yang beredar di media sosial, faktanya tidak semua memberi informasi yang edukatif. Beberapa justru menyebarkan narasi kebencian dan menanamkan curiga terhadap perbedaan.
Seiring berjalanya waktu, media sosial akan mempelajari penggunanya dan menyajikan konten yang paling mungkin mereka sukai. Hal ini akan menjadi berbahaya jika sang pengguna banyak mengonsumsi narasi-narari yang mengandung paham polarisasi agama.
Pengguna hanya akan mendapatkan informasi mengenai paham dari satu sisi saja dan cenderung akan menganggap selain dari paham yang dia dapat adalah salah. Fenomena ini seringkali dikenal sebagai “echo chamber”, yaitu fenomena dimana kita hanya melihat konten yang memperkuat pandangan sendiri dan menjauh dari pandangan berbeda.
Agama Sebagai Jembatan, Bukan Jurang
Setelah menyadari ancaman dari polarisasi agama, ada baiknya bagi kita untuk mengembangkan diri untuk lebih bijak dalam bermedia sosial. Setiap agama memang mempunyai tuhan dan ajaran yang berbeda, namun satu hal yang bisa dipastikan sama adalah setiap agama mengajarkan cinta kasih dan toleransi.
Di tengah gelombang polarisasi, agama seharusnya menjadi jembatan, bukan jurang. Dalam dunia digital yang serba cepat, marilah kita melambat sejenak untuk mendengarkan, merenung, dan memahami, bukan hanya untuk merespons.
Sahabat Giovani Haris Sabandi
Kader PMII Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Perguruan Tinggi Umum Cabang Ciputat
Editor : Sahabati Fauziah Nur Hasanah
0 Komentar