Di tengah krisis demokrasi, komodifikasi pendidikan, dan penguatan oligarki, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) —organisasi yang historisnya berada di garda depan Islam progresif— justru mengalami kekaburan arah. Eksistensinya makin kabur dari medan pertempuran ideologis maupun kultural.
Ketika ruang publik dipenuhi wacana konservatif dan represi simbolik negara, PMII malah larut dalam seremoni dan formalitas struktural. Bukan sebagai produsen gagasan tanding, tapi sebagai pelestari status quo.
Sebagai kader yang tumbuh dalam tubuh organisasi ini, saya menulis bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk membunyikan lonceng peringatan. Tulisan ini adalah upaya autokritik – sebuah refleksi keras namun perlu— demi membuka jalan menuju pemulihan nalar kritis yang semakin terpinggirkan.
Warisan Emansipatoris yang Tergerus
PMII lahir pada 1960 sebagai respon terhadap stagnasi intelektual dan kebutuhan akan sintesis antara keislaman dan kebangsaan. Ia bukan sekadar organisasi mahasiswa, tetapi laboratorium ideologis yang menyalakan obor emansipasi sosial.
Namun, warisan ini kini tereduksi menjadi slogan kosong. Simbolisme menggantikan substansi dan ruang kaderisasi menjelma menjadi forum administratif yang miskin pergulatan ide. Forum-forum kaderisasi —MAPABA, PKD, hingga PKL— tidak lagi menjadi tempat pembentukan nalar kritis, melainkan proseduralitas struktural.
Diskusi-diskusi menjadi ajang retorika kosong, tanpa metodologi, tanpa analisa kelas, dan tanpa perangkat filsafat sosial-politik. Wacana kritis tersingkir oleh loyalitas pada birokrasi internal. Alih-alih menghasilkan intelektual organik, kader justru dibentuk untuk taat dan diam.
“Kita mendidik kader untuk jadi pengurus, bukan menjadi pemikir.”
— Keluhan yang sering muncul dalam diskusi internal kader.
Kemandekan dalam Era Krisis
PMII hari ini tampak redup dalam isu-isu strategis nasional. Mulai dari revisi UU TNI, represi ruang sipil, krisis iklim, hingga perampasan ruang hidup. Tidak ada narasi alternatif yang lahir dari tubuh organisasi. Sementara komunitas lain —jaringan feminis, kolektif literasi kiri, hingga gerakan digital akar rumput— sibuk menyusun perlawanan, PMII justru terjebak dalam rutinitas steril yang menjauh dari realitas.
Dalam konsepsi Antonio Gramsci, hegemoni tidak dibangun hanya melalui kekuatan koersif, tetapi melalui konsensus ideologis yang menumpulkan kesadaran. PMII justru menjadi bagian dari konsensus ini. Loyalitas struktural dan relasi _patron-klien_ dengan elite politik membunuh keberanian berpikir mandiri.
Budaya birokrasi yang kaku melumpuhkan elan kritis kader, menjadikan mereka “intelektual tradisional” yang mempertahankan status quo, bukan “intelektual organik” yang berakar pada rakyat.
Yang paling mengkhawatirkan bukan hanya diamnya PMII terhadap ketimpangan eksternal, tetapi hegemoni internal yang menggerogoti ruh perjuangan. Nilai-nilai loyalitas struktural diposisikan lebih tinggi daripada keberanian intelektual. Kegiatan budaya yang dulu menjadi denyut gerakan —puisi perlawanan, diskusi kritis, dan seni jalanan— telah mati suri.
PMII kehilangan daya magisnya sebagai benteng budaya tanding. PMII seolah tak hadir dalam pertempuran simbolik di ruang-ruang kultural yang hari ini menjadi medan dominan seperti musik, film, literasi digital, seni urban, dan sastra perlawanan.
Padahal, perlawanan hari ini tak lagi cukup dilakukan lewat demonstrasi dan maklumat struktural. Ia juga harus masuk ke ruang-ruang imajinasi, simbolik, dan ekspresi yang membentuk kesadaran publik. PMII kehilangan medan itu. Krisis ini bukan kebetulan. Ia adalah akibat dari disorientasi epistemologis dan kemiskinan strategi kultural.
Dalam istilah Mazhab Frankfurt, budaya telah direduksi menjadi alat reproduksi ideologi dominan. Dalam tubuh PMII, budaya bukan lagi ruang ekspresi pembebasan, melainkan menjadi ritual normatif tanpa daya transformasi.
Mendesain Ulang Arah Gerakan
Meski krisisnya dalam, harapan belum sepenuhnya padam. PMII masih memiliki energi kader, sejarah resistensi, dan jejaring sosial yang luas. Namun, syarat utama kebangkitan adalah keberanian untuk berubah, secara paradigma, bukan sekadar teknis.
Pertama, revitalisasi kaderisasi harus dilakukan dengan mengubah silabus dari yang administratif menjadi emansipatoris. Teori kritis seperti Marxisme, postkolonialisme, hingga ekofeminisme harus diintegrasikan dalam pembacaan sosial kader. Kaderisasi bukan tempat menyerap dogma, melainkan arena untuk menyusun nalar tanding.
Kedua, produksi wacana kritis di ruang digital harus menjadi prioritas. PMII harus membangun kanal-kanal alternatif —media sosial, _podcast_, publikasi digital— yang mampu menjangkau publik muda. Di tengah tsunami disinformasi, kita harus menjadi intelektual kolektif (Gramsci) yang merebut ruang publik dengan narasi cerdas, bernyali, dan berpihak.
Ketiga, pengaktifan kembali ruang kultural sebagai medium perlawanan simbolik. Seni dan sastra bukan pelengkap seremoni, tetapi senjata ideologis. Puisi, mural, sinema, hingga teater jalanan bisa menjadi medium menyentuh nurani publik, menyuarakan suara yang tak didengar oleh politik formal.
Keempat, dan paling penting, membangun independensi organisasi. PMII harus berani keluar dari ketergantungan terhadap elite politik maupun struktur NU. Kesetiaan kepada NU tidak berarti membungkam nalar kritis. Kita harus berani menjadi "anak ideologis rakyat", bukan sekadar "anak kandung NU".
Dari Organisasi Struktural ke Gerakan Ideologis
Langkah transformasi ini menuntut keberanian kolektif. PMII harus bergeser dari model organisasi struktural menuju organisasi ide dan budaya. Kita perlu membentuk divisi-divisi yang bekerja seperti NGO yang meliputi unit riset kebijakan, ekonomi kolektif kader, kanal produksi wacana, hingga tim advokasi. Semuanya dikelola secara profesional, partisipatif, dan transparan, didukung oleh kader-kader yang terlatih secara teknis dan ideologis.
Dalam hal pendanaan, kemandirian bisa dibangun melalui iuran kader, usaha kolektif, penerbitan media, atau hibah sosial. Ini bukan hanya soal uang, tapi juga tentang martabat. Kita tidak bisa membangun organisasi pembebasan dengan uang dari kekuasaan yang hendak kita lawan.
Museum Kaderisasi atau Garda Perubahan?
Kini kita berada di persimpangan sejarah. PMII bisa terus hidup sebagai museum kaderisasi, hidup dalam nama, mati dalam pengaruh atau kita bisa memilih jalan yang lebih terjal: menjadi garda perubahan yang menyalakan obor keadilan, nalar, dan keberpihakan.
Sebagai kader, saya menulis ini bukan karena benci, tapi karena cinta. Karena saya tahu PMII punya potensi besar, tapi sedang tertidur dalam buaian simbol. Kini saatnya membangunkan raksasa itu—dengan keberanian, dengan gagasan, dan dengan gerakan. Akan tetapi PMII harus kembali ke khitahnya. Yaitu sebagai kekuatan intelektual-moral yang membela rakyat, bukan bayangan kekuasaan.
Sejarah hanya akan mencatat mereka yang berani berpikir dan bertindak melampaui batas kenyamanan. Maka saatnya untuk kita memilih, diam dalam seremoni atau bangkit sebagai suara perubahan?
Sahabat Raka Akbar
Kader PMII Komisariat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Cabang Ciputat
Editor: Sahabati Fitri Yanti
0 Komentar