Peringatan duka Asyura yang menandai tahun baru Islam bukan sekadar mengenang tragedi. Bagi umat Muslim, khususnya Sunni dan Syiah, peristiwa ini menjadi sumber refleksi yang mendalam.
Seiring berjalannya waktu, peringatan duka Karbala ini berkembang menjadi berbagai festival dan ekspresi seni yang inovatif, namun esensinya tetap sama: menghadirkan ekspresi spiritual transendental yang berkolaborasi dengan dinamika dunia global.
Pandangan Ali Syariati: Kebangkitan dan Kesaksian
Ali Syariati, dalam bukunya "Imam Hussein: Syahadah, Bangkit & Bersaksi," menjelaskan bahwa Imam Husain AS adalah lentera yang menerangi berbagai gerakan dan kebangkitan Islam.
Selama berabad-abad, komunitas Syiah dari berbagai aliran (Imamiyah, Ismailiyah, Zaidiyah, Aleviyah, hingga Bektashiyah) terus mengenang Imam Husain dengan air mata dan penyesalan.
Setiap tetesan darah Al-Husain dianggap memberikan pengetahuan tentang kebenaran dan perlawanan terhadap kezaliman. Spiritnya membangkitkan tunas kebebasan, kebenaran, dan keadilan.
Syariati melihat kebangkitan Imam Husain memiliki korespondensi dengan nilai filsafat sejarah. Menurutnya, sejarah dibangun di atas kontradiksi antara dualitas, seperti:
- Ma'ruf dan munkar
- Penindasan dan ketertindasan
- Thaghut dan Tuhan
- Syirik dan tauhid
- Kezaliman dan keadilan
Kontradiksi ini berawal dari pertarungan antara pihak yang memegang kebenaran dan pihak yang merampasnya.
Makna Abadi dari Peristiwa Karbala
Syariati percaya bahwa kebangkitan Husaini harus dilihat sebagai bagian dari silsilah kebangkitan dalam sejarah agama-agama Ibrahimik, bukan sekadar peristiwa duka masa lalu.
Memisahkan Husain dan Karbala dari konteks sosial, sejarah, dan keyakinannya sama seperti memotong anggota tubuh dari makhluk hidup. Makna abadi dari kebangkitan ini adalah pelajaran untuk tidak hanya menangisi masa lalu, tetapi juga mengambil tindakan nyata.
Dimensi Metafisika dan Fisikal dalam Asyura
Asyura mendobrak dikotomi antara dimensi metafisika dan fisikal. Imam Husain tidak hanya mengangkat senjata melawan kezaliman, tetapi juga membuka pintu jiwa setiap peziarah agar tidak terlena dalam kefanaan dunia.
Melalui doa dan munajatnya, ia memusatkan perhatian pada Tuhan, sehingga cahaya ilahi mengiluminasi kalbu para pengikutnya. Doa Arafah yang diucapkan Imam Husain mengungkapkan kerinduan mendalam kepada Tuhan. Di dalamnya terkandung rahasia kebangkitan dan perlawanan terhadap penguasa kufur dan zalim.
Imam Husain bersyukur tidak dilahirkan pada zaman jahiliah, dan rasa syukur ini menuntut adanya upaya untuk meruntuhkan kekuasaan kufur dan menegakkan sistem ilahi. Sebab, lingkungan yang jahil dan zalim akan mempersulit jalan menuju makrifat ilahi.
Irfan Sejati dan Jihad Hakiki
Cinta dan kerinduan seorang arif hanya bisa padam dengan pertemuan (wusul) dengan Tuhan. Pertemuan ini hanya bisa dicapai melalui jihad dan perang hakiki, yang lahir dari makrifat sempurna (irfan hakiki). Oleh karena itu, ada keselarasan sempurna antara perlawanan politik terhadap kezaliman, irfan sejati, dan jihad hakiki.
Imam Husain adalah potret sempurna dari sosok yang menyatukan irfan sejati dan perang hakiki. Karena itulah, ia layak menyandang gelar Sayyid para Syuhada—pemimpin orang-orang yang mati syahid dan pemimpin para arif yang bertemu dengan kekasihnya.
Sahabat Doni Dwi Putra Suhendar
Kader PMII Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Perguruan Tinggi Umum Cabang Ciputat
Editor : Sahabati Lia Lutfiani
0 Komentar