Jakarta bukan sekadar ibu kota negara. Ia adalah rumah besar bagi budaya Betawi yang mengakar dalam sejarah Islam Nusantara. Islam Betawi tumbuh sebagai ekspresi lokal dari ajaran Islam yang membumi, ramah, dan egaliter.
Dari langgar di kampung-kampung hingga majelis taklim di gang-gang sempit, Islam Betawi pernah menjadi denyut spiritual warga kota yang bersahaja. Namun kota ini berubah. Modernisasi, migrasi, dan dinamika politik membuat Jakarta makin riuh. Di tengah hiruk-pikuk itu, Islam Betawi seperti kehilangan pijakan.
Warisan yang dulu hidup dalam keseharian—dalam tradisi nyorog, palang pintu, atau tahlilan—kini makin tersudut. Yang lebih mengkhawatirkan, ekspresi keislaman warga Betawi tak lagi hanya soal iman dan budaya, tetapi mulai diseret ke dalam kepentingan politik praktis.
Fenomena politik identitas yang menguat dalam satu dekade terakhir membuka ruang baru bagi manipulasi agama. Islam tidak lagi sekadar keyakinan, melainkan dijadikan alat kampanye, simbol afiliasi, bahkan instrumen polarisasi.
Dalam arena ini, Islam Betawi yang dulu dikenal teduh dan moderat, perlahan-lahan ikut terseret. Warisan ulama yang mestinya jadi pemersatu umat, justru dipakai untuk mengotakkan dan menghakimi.
Akar Historis Islam Betawi dan Karakter Aslinya
Islam Betawi tidak lahir dalam ruang hampa. Ia tumbuh dari perjumpaan antara ajaran Islam dengan budaya lokal yang kaya, dari interaksi masyarakat pesisir dengan ulama-ulama besar yang membangun peradaban di tengah kota.
Nama-nama seperti KH. Abdul Ghoni di Al-Mansur Jembatan Lima, KH. Noer Alie di Bekasi, hingga KH. Ma’mun Al-Ayyubi di Kebayoran bukan sekadar pengajar agama, tapi juga tokoh pergerakan dan penjaga akhlak masyarakat.
Karakter Islam Betawi dibentuk oleh nilai-nilai kesederhanaan, keterbukaan, dan keakraban sosial. Islam hadir bukan dalam bentuk yang kaku atau eksklusif, melainkan melebur dengan budaya: dari silat hingga selawat, dari marhabanan hingga rebana, semua menjadi bagian dari ibadah yang hidup.
Dalam tradisi Betawi, keislaman tidak dipisahkan dari keseharian. Ngaji kitab kuning, main hadroh, ziarah kubur, semuanya dilakukan dengan santai tapi khidmat. Lebih dari itu, Ulama-ulama Betawi sibuk membina. Masjid menjadi pusat keilmuan dan keterlibatan sosial, bukan panggung untuk memecah umat.
Nilai-nilai ini lah yang membuat Islam Betawi menjadi titik tengah antara agama dan budaya, antara syariat dan kebijaksanaan lokal. Tapi nilai-nilai ini pula yang kini mulai terkikis, bukan hanya oleh perubahan zaman, tapi oleh tarikan-tarikan politik yang memanfaatkan agama untuk kepentingan sesaat.
Politik Identitas dan Kontestasi Agama di Jakarta
Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 menjadi titik balik yang menggambarkan dengan gamblang bagaimana agama—termasuk Islam Betawi—dijadikan komoditas dalam pertarungan politik. Dalam kontestasi tersebut, simbol-simbol keagamaan digunakan secara massif untuk menggalang dukungan, membentuk barisan, bahkan menyerang lawan.
Masjid yang selama ini menjadi ruang tafakur dan pemersatu, mendadak berubah menjadi ruang agitasi politik. Sebagian tokoh agama yang berasal dari kultur Betawi pun turut masuk dalam pusaran ini. Mereka mengambil sikap yang sangat politis, bahkan terkesan partisan, dengan mengatasnamakan Islam dan umat.
Sayangnya, yang diseret bukan hanya opini, tetapi juga identitas sosial warga Betawi. Sebuah komunitas yang sebelumnya hidup berdampingan secara damai, mendadak terbelah oleh narasi “kami dan mereka”. Yang lebih menyedihkan, warisan Islam Betawi yang moderat dan mengedepankan harmoni tak lagi menjadi rujukan utama.
Dakwah yang dulu menyejukkan berubah jadi alat untuk menggalang amarah. Pengajian yang dulu dipenuhi petuah moral kini bercampur dengan narasi perlawanan politik. Polarisasi sosial pun menjadi keniscayaan, dan Islam Betawi kehilangan posisi sentralnya sebagai penyejuk di tengah keragaman Jakarta.
Dalam atmosfer seperti ini, yang muncul bukan lagi Islam yang membumi, tapi Islam yang berseragam. Segala sesuatu diukur dari sikap politik, bukan lagi dari akhlak dan ilmu. Padahal, yang diwariskan para ulama Betawi bukanlah semangat permusuhan, melainkan kearifan dalam menjaga persatuan di tengah perbedaan.
Menjaga Islam Betawi dari Cengkeraman Politik
Di tengah derasnya arus politik identitas, menjaga Islam Betawi bukan sekadar tugas kultural, tapi juga tanggung jawab moral. Kita tidak bisa membiarkan warisan para ulama dan leluhur dipakai sebagai alat untuk memecah umat. Islam Betawi yang selama ini tumbuh dari rahim budaya damai dan spiritualitas rakyat harus kembali ditegakkan sebagai fondasi kebersamaan, bukan komoditas politik.
Ulama dan tokoh masyarakat Betawi mesti berdiri di garda depan untuk merawat nilai-nilai asli Islam Betawi. Mereka perlu menolak politisasi masjid, meluruskan arah dakwah, dan kembali menjadikan pengajian sebagai ruang pendidikan, bukan kampanye.
Dalam konteks inilah pentingnya membangun kembali kesadaran kolektif bahwa Islam Betawi bukan milik satu kelompok, partai, atau kekuasaan, melainkan milik semua warga yang ingin hidup rukun dalam keberagaman.
Kita semua, terutama generasi muda Betawi, punya peran besar untuk meneruskan tradisi Islam yang penuh adab dan kearifan. Melestarikan budaya ngaji, nyambung silaturahmi antarwarga, menjaga masjid dari polarisasi, serta menjadikan Islam sebagai kekuatan akhlak, bukan alat propaganda.
Karena pada akhirnya, yang ingin kita wariskan bukan hanya identitas, tapi juga integritas. Islam Betawi harus tetap hidup sebagai penyejuk kota, bukan bara yang membakar persaudaraan. Jika tidak dijaga hari ini, bisa jadi yang tersisa esok hanyalah nama tanpa makna—Islam Betawi yang kehilangan jiwa.
Sahabat Muhammad Sofiyullah Numairi
Kader PMII Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Perguruan Tinggi Umum Cabang Ciputat
Editor: Sahabat Rakan Abdel Jabar
0 Komentar