Dalam waktu yang semakin penuh ketimpangan ini, kita seringkali melihat agama—termasuk Islam—lebih sibuk mengurus perkara privat dan ritual. Sementara di luar sana, buruh ditindas, petani kehilangan tanah, dan nelayan terusir dari lautnya sendiri. Lalu, ke mana peran fikih dan tasawuf yang selama ini menjadi jantung dari tradisi Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah)? Inilah pertanyaan yang coba dijawab oleh gagasan Aswaja Materialis, sebuah tawaran pembacaan ulang terhadap warisan keislaman kita, dengan keberpihakan yang tegas: kepada rakyat kecil.
Fikih yang Terlalu Aman?
Sudah menjadi rahasia umum bahwa fikih di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) selama ini berkembang dalam corak moderat. Tapi moderasi yang terlalu jauh bisa menjadi bumerang. Fikih justru kehilangan taring kritisnya. Ia menjadi “hyper moderat”—terlalu jinak, terlalu hati-hati—sehingga tidak mampu menantang ketidakadilan struktural.
Padahal, fikih tidak pernah benar-benar netral. Hukum selalu berpihak. Maka, fikih seharusnya memihak pada siapa? Sudah waktunya kita jawab: kepada kaum miskin, buruh, petani, dan mereka yang tertindas.
Fikih Proletar: Fikih yang Turun ke Jalan
Membaca fikih dengan pendekatan materialis historis berarti melihat kondisi sosial-ekonomi sebagai bagian dari pertimbangan hukum. Bukan hanya teks, tapi juga konteks.
Contohnya, zakat. Selama ini kita memahaminya sebagai amal personal. Tapi dalam kerangka fikih proletar, zakat bisa dibaca sebagai pajak kelas atas kepada kelas bawah. Sebuah bentuk redistribusi ekonomi untuk melawan kesenjangan.
Fikih yang seperti ini tidak berhenti di lembaran kitab. Ia turun ke lapangan, membela buruh yang mogok kerja, petani yang mempertahankan tanah, dan rakyat yang menuntut keadilan.
Tasawuf yang Membebaskan, Bukan Meninabobokan
Kita juga sering mendengar bahwa tasawuf adalah jalan sunyi, pribadi, dan jauh dari hiruk-pikuk dunia. Tapi sejarah menunjukkan hal sebaliknya. Para sufi seperti Mansur al-Hallaj dan Syaikh Siti Jenar bukan hanya orang-orang spiritual, tapi juga pemberontak spiritual—yang menentang kekuasaan yang menindas manusia.
Tasawuf dalam tradisi NU sebenarnya menyimpan potensi luar biasa: haul, tahlilan, zikir berjamaah —semua itu bisa menjadi ruang konsolidasi sosial jika dibingkai dengan kesadaran kolektif. Inilah yang disebut tasawuf revolusioner— sebuah spiritualitas yang tidak membuat kita pasrah, tapi membangkitkan keberanian dan solidaritas.
Aswaja Materialis: Gerakan dari Dalam
Proyek Aswaja Materialis bukan sekadar usaha ‘mengislamkan Marxisme’, tapi menghidupkan kembali Aswaja sebagai kekuatan pembebas. Bukan hanya menjaga tradisi, tapi juga menggugat ketidakadilan. Bukan hanya warisan budaya, tapi alat perjuangan kelas.
Aswaja selama ini dikenal sebagai Islam jalan tengah. Tapi kini, jalan tengah saja tidak cukup. Kita butuh jalan berpihak—berpihak pada mereka yang selalu diletakkan di bawah.
Penutup: NU dan Tugas Zaman
NU, dengan basis sosialnya yang luas dan warisan tradisinya yang kaya, punya peluang besar untuk menjadi kekuatan transformasi. Tapi itu hanya mungkin jika fikih dan tasawuf-nya ikut bergerak. Jika tidak, maka NU hanya akan jadi penonton dalam sejarah perjuangan rakyat.
Fikih proletar dan tasawuf revolusioner adalah dua sayap dari burung besar bernama Aswaja Materialis. Dengan keduanya, kita bisa terbang lebih tinggi—membawa agama kembali ke pangkuan umat, bukan kekuasaan.
Sahabat Rakan Abdel Jabar
Kader PMII Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Perguruan Tinggi Umum Cabang Ciputat
Editor: Sahabati Fauziah Nur Hasanah
0 Komentar