Islam di Nusantara tidak hanya berkembang dalam konteks daratan yang kental dengan tradisi dan norma-norma sosial, tetapi juga menjelma dalam bentuk yang khas di dunia maritim. Di kawasan pesisir dan pulau-pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke, Islam menyatu dengan tradisi lokal, beradaptasi dengan kebudayaan laut yang sudah ada jauh sebelum kedatangan agama ini.
Fenomena ini disebut sebagai Islam Maritim, sebuah perwujudan Islam yang unik, penuh dengan nilai, tradisi, dan pengetahuan yang berkembang di tengah dinamika kehidupan masyarakat pesisir dan pelaut Nusantara.
Islam dan Budaya Maritim sebagai Proses Dialektika
Kekuatan utama dari Islam Maritim terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan budaya lokal. Dalam masyarakat pesisir, Islam tidak datang dalam bentuk yang seragam atau kaku. Sebaliknya, Islam berinteraksi dan bernegosiasi dengan tradisi lokal, menghasilkan bentuk-bentuk baru yang mencerminkan dialektika antara unsur-unsur lama dan ajaran-ajaran baru.
Kepercayaan-kepercayaan lokal yang telah ada, seperti mitos tentang penjaga lautan atau roh leluhur yang menguasai lautan, berbaur dengan ajaran Islam yang menekankan keyakinan pada Tuhan yang Maha Esa, yaitu Allah. Contoh paling menarik dapat ditemukan dalam masyarakat Bajo, suku pelaut yang mendiami wilayah pesisir Sulawesi dan sekitarnya.
Sebagian dari mereka meyakini adanya entitas gaib yang menjaga lautan, namun tetap mengakui Allah sebagai Tuhan mereka. Kepercayaan ini menunjukkan betapa Islam, meskipun merupakan agama yang datang dari padang pasir, mampu beradaptasi dan menyatu dengan realitas budaya yang ada di sekitar komunitas tersebut.
Peran Laut dalam Kehidupan Islam Maritim
Laut bukan hanya sekadar ruang fisik yang ditempuh oleh para pelaut, tetapi juga arena sosial dan budaya yang menghidupkan berbagai sistem pengetahuan, aturan sosial, dan institusi. Dalam masyarakat maritim Nusantara, laut menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, termasuk dalam peribadatan.
Misalnya, tradisi membaca tanda alam di sekitar laut untuk menentukan awal dan akhir puasa Ramadhan atau merayakan Idul Fitri. Hal ini mencerminkan bagaimana Islam dalam konteks maritim tidak hanya terikat pada ajaran formal, tetapi juga menyatu dengan cara hidup dan interaksi mereka dengan alam.
Komunitas-komunitas ini, seperti orang-orang Bajo di Wakatobi, tidak hanya mempersembahkan doa dan ritual sesuai dengan ajaran Islam, tetapi juga memanfaatkan pengetahuan lokal tentang laut untuk memandu kehidupan mereka.
Tanda-tanda alam seperti penampakan bunga lokal menjadi penanda awal bulan Ramadhan, sementara fenomena alam lainnya digunakan untuk menentukan hari raya Idul Fitri. Pengetahuan lokal semacam ini, yang berkembang dalam masyarakat yang sangat bergantung pada laut, menjadi salah satu wujud dari Islam Maritim yang berorientasi ekologis.
Islam sebagai Agama yang Terbuka dan Adaptif
Salah satu aspek yang paling menarik dari Islam Maritim adalah kemampuannya untuk membuka ruang bagi pertemuan berbagai gagasan, nilai, dan budaya baru. Seperti yang diungkapkan oleh para antropolog dan sejarawan, Islam tidak hanya dipahami sebagai satu entitas tunggal yang kaku, tetapi sebagai agama yang memungkinkan interpretasi yang beragam.
Dalam konteks maritim, agen-agen Muslim Nusantara, para pelaut dan penjelajah laut telah memainkan peran penting dalam membentuk ekspresi Islam yang tidak hanya relevan dengan konteks mereka, tetapi juga dapat menyatu dengan kebudayaan lokal.
Dialektika ini, antara Islam sebagai agama yang berasal dari satu sumber dan keberagaman ekspresinya di Nusantara, menunjukkan bahwa Islam dapat beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Ini juga menegaskan bahwa Islam adalah agama yang membuka ruang bagi keberagaman dan kebinekaan, yang tidak terbatas pada satu bentuk atau satu interpretasi saja.
Membangun Jembatan Antara Islam dan Laut
Sebagai agama yang datang dengan semangat terbuka dan adaptif, Islam di dunia maritim Nusantara tidak hanya sekadar agama, tetapi juga menjadi pendorong bagi pengetahuan baru dan pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan manusia dengan alam.
Laut, yang bagi sebagian besar masyarakat daratan mungkin hanya dianggap sebagai ruang untuk mencari nafkah, bagi masyarakat maritim Nusantara adalah sumber kehidupan yang lebih dalam dari itu—tempat di mana pengetahuan dan spiritualitas bertemu.
Perjumpaan Islam dengan budaya maritim Nusantara tidak hanya menghasilkan gagasan baru, tetapi juga menunjukkan kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan tantangan lingkungan.
Dalam dunia maritim, di mana laut adalah arena yang penuh dengan ketidakpastian, kemampuan membaca alam menjadi salah satu keterampilan penting. Hal ini tidak hanya bermanfaat dalam konteks kehidupan sehari-hari, tetapi juga dalam menjalankan ibadah dan menjalani kehidupan spiritual yang harmonis dengan alam sekitar.
Melalui perjalanan panjang dan interaksi antara budaya maritim dan ajaran Islam, Islam Maritim Nusantara menunjukkan bahwa agama ini dapat hidup berdampingan dengan kepercayaan dan kebudayaan lokal, menciptakan bentuk-bentuk baru yang kaya akan nilai dan pengetahuan.
Dalam masyarakat pelaut, Islam menjadi lebih dari sekadar agama; ia menjadi bagian dari sistem pengetahuan, tradisi, dan cara hidup yang disesuaikan dengan dinamika alam. Inilah wajah Islam yang lebih terbuka, penuh dinamika, dan mampu beradaptasi dengan segala perubahan, menciptakan satu identitas Islam yang sangat khas dan relevan dengan masyarakat maritim Nusantara.
Referensi
Hamdani, Idris Masudi, & Muhtarom, A. (2023). Islam Maritim dan Kultur Penjelajah Laut Masyarakat Nusantara. Islam Nusantara, 4(1), 29-113.
Sahabat Zaydan Alimulhikam
Kader PMII Rayon Teknik Komisariat Mahbub Djunaidi (Universitas Indonesia) Cabang Kota Depok
Editor: Sahabat Rakan Abdel Jabar
0 Komentar