“Allah hanya menerima yang baik dari hasil yang baik”. Melihat situasi yang penuh hingar-bingar kebodohan para pemangku jabatan saat ini, membuat saya teringat hadis di atas. Ingatan akan sumber yang sangat menentukan akibatnya.
Kembali ke tahun-tahun yang lalu, masa di mana kita disuguhi oleh permainan catur yang sangat kacau, kopling dan gas dilepas bebas oleh penguasa sehingga dengan picik menabrak dan membolongi konstitusi. Mengotak-atik regulasi hingga menjegal lawan dalam kompetisi dilakoni. Alhasil, sebagaimana yang kita lihat sekarang bahwa akibat dari sebab yang tidak baik adalah ketidakbaikkan.
Dominasi Kuasa dan Demokrasi yang Terkondisikan
Petahanan memiliki akses yang sangat leluasa adalah kejahatan pertama. Pemegang kuasa memiliki daya tawar yang sangat mahal sehingga trade atas mereka yang mampu menawarkan keuntungan berkelanjutan adalah kemenangan. Mereka mampu untuk mengotak-atik regulasi dan main jegal lawan kompetisi adalah ciri bahwa mereka tidak percaya diri atas kualitas dirinya.
Belum lagi dengan Black Campaign yang tidak jarang dilakukan. Tujuannya tentu untuk mematikan karakter lawan politiknya. Semuanya bisa mereka lakukan. Tentunya mengingat mereka adalah regulator yang kapan saja bisa mengintervensi operator, juga menunggangi legalitas identitas untuk melegitimasi kejahatan yang mereka lakukan.
Namun begitu, penguasa selalu saja berlindung dalam narasi “rakyat yang memilih, ini kan demokrasi”. Betul bahwa kalimat itu benar secara substansial tetapi ada yang salah dalam eksistensialnya. Bagaimana tidak, rakyat yang memilih nyatanya sudah dikondisikan. Mereka dipelihara dalam kebodohan dan bahkan kemiskinan dengan tujuan mudah untuk dikendalikan.
Kekuasaan yang Tidak Berkah
Pemeliharaan kebodohan adalah cara pengkondisian agar mereka tidak dapat berpikir kritis. Pemeliharaan kemiskinan sebagai langkah mengambil kendali harapan serta keinginan. Hasilnya, setelah terpilih -setidaknya hingga saat ini- hanya ada kekacauan demi kekacauan.
Kekuasaan yang seharusnya dirayakan justru dikutuk karena ketidakberkahannya. Menyebabkan tiap gerak tidak selaras dan harmonis. Banyaknya investor yang menarik diri dan pendapatan pajak yang menurun mengalamatkan bahwa banyak pihak takut dan skeptis terhadap kepemimpinan penguasa yang busuk.
Kehancuran Idealisme Hingga Refleksi Miniatur Politik
Feodalisme yang kental dan pertimbangan pragmatisme nir-etik yang mendominasi pengambilan kebijakan adalah komposisi mutakhir dalam membentuk kotak Pandora. Pada akhirnya, tidak ada lagi idealisme, baik dalam proses maupun penentuan tujuan. Penguasa saat ini tetap busuk dan terkutuk.
Saya sedang tidak membicarakan politik nasional saja, tetapi semua. Saya teringat ucapan dari seorang kawan di kampus, “kompetisi politik di kampus itu miniatur perpolitikan nasional”. Kalimat yang cukup vulgar untuk merepresentasikan keadaan adanya.
Di kampus, terkhusus di UIN, kompetisi politik sangat panas; mudah terbakar, baik antar organisasi maupun internal organisasi. Saya mengamini ucapan kawan saya tersebut. Itu pula lah yang sedang saya bicarakan.
Sahabat Anonim "Atas Nama Percaya"
Editor: Sahabat Rakan Abdel Jabar
0 Komentar