Haji Berkali-kali: Antara Panggilan Ilahi dan Panggilan Gengsi

Antusiasme umat muslim Indonesia untuk pergi ke tanah suci Makkah sangatlah tinggi. Hal ini dapat dibuktikan tatkala serombongan jamaah haji pulang ke tanah air setelah melaksanakan rangkaian ibadah haji. Kemudian ditanya “Siapa yang ingin kembali lagi ke Makkah?”, hampir seluruhnya pasti menjawab “Ingin”, sangat sedikit yang menjawab “Saya inginnya haji cukup sekali saja, seperti Nabi Muhammad saw”.

Hal tersebut di satu sisi terlihat positif karena menunjukkan antusiasme umat Islam untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima-nya itu, juga acap kali dianggap sebagai barometer ketakwaan dan kemampuan finansial. Namun dari sisi agama, sebenarnya tidak selamanya positif. 

Apakah Ibadah Haji yang Berulang Itu Panggilan Ilahi atau Panggilan Gengsi? KH. Ali Mustafa Ya'qub (1952-2016), pendiri Pondok Pesantren Darus-Sunnah, Ciputat, menyinggung hal yang berkaitan dalam karyanya yang ciamik Haji Pengabdi Setan (2006) terbitan Pustaka Firdaus Jakarta.

Aspek Historis

Jika ditelisik dari segi sejarah, ibadah haji telah ada sejak zaman Nabi Ibrahim. Tetapi baru diwajibkan kepada umat Islam pada tahun 6 H. Namun, pada waktu itu (re; 6 H) Nabi Muhammad saw. dan para sahabat belum bisa melaksanakan ibadah haji karena kala itu kota Makkah masih chaos dan tidak kondusif, sebab masih dikuasai kaum Musyrik. Setelah peristiwa Fathu Makkah pada 12 Ramadan 8 H, sejatinya beliau sudah berkesempatan melaksanakan ibadah haji. 

Namun yang terjadi, beliau tidak beribadah haji pada tahun itu, juga tidak pada tahun setelahnya (9 H). Beliau malah baru melaksanakannya pada tahun 10 H dan 3 bulan setelahnya beliau wafat. 

Ini menunjukkan bahwa sejatinya kalau ingin beliau dapat beribadah haji sebanyak tiga kali, namun beliau hanya menjalaninya sekali. Pun demikian beliau juga dapat beribadah umrah ribuan kali, namun hanya melakukan umrah sunnah tiga kali dan umrah wajib (bersama haji) sekali.

Dua Poros Ibadah dalam Islam

Dalam Islam, ada dua kategori ibadah:

  • Ibadah Qashirah (Ibadah Individual), yang mana manfaatnya hanya dapat dirasakan pelakunya.
  • Ibadah Muta`addiyah (Ibadah Sosial), yang mana manfaatnya dirasakan pelakunya dan orang lain.

Nabi Muhammad SAW, ketika dihadapkan pada saat yang bersamaan antara ibadah qashirah dan ibadah muta'addiyah, beliau lebih memilih Ibadah muta'addiyah. Contoh ibadah muta'addiyah yakni, menyantuni anak yatim, yang mana “penyantun”-nya kelak oleh Rasulullah dijanjikan surga dan juga malah berdampingan dengan beliau, sebagaimana hadis Nabi dalam kitab Shahih Bukhari:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبْدِ الْوَهَّابِ قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي حَازِمٍ قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ: سَمِعْتُ سَهْلَ بْنَ سَعْدٍ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «أَنَا ‌وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا .» وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى

“Aku dan penyantun anak yatim akan masuk surga dalam keadaan seperti ini”, dan beliau mengisyaratkan dengan telunjuk dan jari tengahnya.” (H.R. Bukhari: 6005).

Sedangkan untuk haji mabrur, Nabi Muhammad saw. “hanya” menjanjikan surga, tanpa janji berdampingan bersama beliau. Sebagaimana hadis beliau yang termaktub dalam Shahih Bukhari pula:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوسُفَ : أَخْبَرَنَا مَالِكٌ ، عَنْ سُمَيٍّ مَوْلَى أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّانِ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، ‌وَالْحَجُّ ‌الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّةُ.»

“Abdullah bin Yusuf mengabarkan kepada Malik, dari Sumay, pelayan Abu Bakar bin Rahman, dari Abu Shalih Al-Samman, dari Abu Hurairah RA. : Rasulullah SAW bersabda: “Umrah ke umrah adalah kafarat (penghapus dosa) bagi apa yang ada di antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada balasan (bagi pelakunya) kecuali surga.” (H.R. Bukhari: 1773).

Hal tersebut membuktikan bahwa sejatinya ibadah muta'addiyah (ibadah sosial) yang dampaknya dapat dirasakan orang lain lebih utama ketimbang ibadah qashirah (ibadah individual) yang manfaatnya hanya pada pelakunya saja. Pun demikian hal ini sejalan dengan hadis Nabi pada kitab Musnad Asy-Syihab No.1234:

أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عُمَرَ الصَّفَّارُ، ثنا أَبُو سَعِيدٍ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادِ بْنِ الْأَعْرَابِيِّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَضْرَمِيُّ، ثنا عَلِيُّ بْنُ بَهْرَامَ، ثنا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ أَبِي كَرِيمَةَ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: «‌خَيْرُ ‌النَّاسِ ‌أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ» مُخْتَصَرٌ

“Sebaik-baik manusia adalah orang yang bermanfaat bagi manusia (lain).”

Haji Berkali-kali

Dewasa ini, banyak kita lihat fenomena orang pergi haji berulang kali, baik dari kalangan artis, orang kaya, maupun ulama. Dalam syariat Islam, sejatinya tidak ada larangan melaksanakan hal demikian. Bagi yang mampu, menunaikan ibadah haji diwajibkan hanya sekali seumur hidup, jika dilakukan lebih dari itu, maka hukumnya sunnah.

Namun, KH. Ali Mustafa Ya`qub termasuk orang yang vokal dalam mengkritik fenomena haji berkali-kali ini. Ulama ahli hadis yang juga imam besar masjid Istiqlal Jakarta itu juga kerap me-mention salah satu kaidah fikih yang berbunyi “al-muta’addiyah afdhal min al-qashirah” (ibadah sosial lebih baik daripada ibadah individual).

Jumlah jamaah haji Indonesia yang setiap tahunnya pasti mengalami kenaikan, sekilas nampak menggembirakan. Namun jika ditelisik lebih jauh lagi, kenyataannya justru sebaliknya, karena sebagian dari jumlah itu sudah beribadah haji berkali-kali. Boleh jadi, kepergian mereka yang berulang itu bukan lagi sunnah, melainkan makruh.

Di tengah banyaknya problematika sosial di negeri ini, seperti banyak orang menjadi tuna wisma akibat bencana alam, puluhan ribu orang terkena PHK (pemutusan hubungan kerja) masal (seperti yang dialami oleh karyawan PT. Sritex pada awal tahun 2025), banyak orang masih susah untuk sekedar buat makan, dan masih banyak dinamika sosial lainnya.

Lalu kita melaksanakan haji untuk kedua atau bahkan ketiga kalinya, maka kita patut mempertanyakan pada diri sendiri. Apakah ini panggilan Ilahi atau gengsi? Apa kita melaksanakannya karena perintah Allah?

Ayat mana dalam al-Qur`an yang menyuruh kita melaksanakan ibadah haji berkali-kali, sementara masih banyak seabrek kewajiban agama dan dinamika sosial di depan kita. Atau apakah haji kita itu mengikuti Nabi Muhammad saw? Kapan Nabi saw, yang sejatinya sebagai role model umat Islam, memberi teladan atau perintah seperti itu? 

Beliau saja sejatinya berkesempatan melaksanakan haji tiga kali, namun hanya melakukannya sekali (pada tahun 10 H). Atau, kita sejatinya menuruti bisikan setan melalui hawa nafsu, yang berwujud gengsi agar dimata orang awam kita terlihat luhur di sisi Allah Swt? 

Haji Berulang: Ibadah atau Nafsu Terselubung?

Jika hal demikian yang mendorong kita melaksanakan haji, maka naudzubillah, kita berarti melaksanakannya bukan karena Allah, melainkan mengikuti perintah setan. Sayangnya, masih banyak yang beranggapan bahwa setan hanya menipu berupa “kejahatan” atau setan tidak pernah menyuruh beribadah. 

Imam Al-Ghazali dalam Ihya 'Ulumuddin berpendapat, salah satu bentuk tipu daya setan bagi orang yang berharta ialah mereka menyangka dengan menghabiskan harta untuk naik haji berulang kali itu dianggap lebih mulia di sisi Allah daripada mendedikasikan hartanya untuk fakir miskin. 

Karenanya kita harus membuat skala prioritas dalam beribadah dan ketika dihadapkan dengan banyak peluang pilihan ibadah. Pilihlah ibadah yang memberikan manfaat lebih besar, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Waallahu Alam

Sahabat Mujtaba Akmal

Kader PMII Komisariat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Cabang Ciputat 

Editor: Sahabati Lia Lutfiani 

Posting Komentar

0 Komentar