Moralitas yang Kehilangan Arah: Gus Dur dan Ironi Sosial Kontemporer

Di tengah hiruk pikuk kota kemarin dan hari ini, saya teringat sebuah pesan di salah satu tulisan yang dikumpulkan oleh Gus Dur, kemudian beliau beri nama "Insya Allah, Saya Serius: NU, Muhammadiyah, & Budaya Arab". Di dalamnya, beliau berkata "Mereka keras sekali terhadap hal-hal yang sepele, tapi lunak terhadap hal-hal dasar. Umat Islam sangat peka terhadap yang amoral, namun tidak demikian terhadap yang asosial". Iya betul mereka yang berperilaku porno diganyang habis-habisan, namun mereka yang kaya, korup, dan sebagainya di biarkan saja.

Dalam keriuhan zaman yang semakin kompleks ini, terdapat sebuah ironi yang menggores nurani. Masyarakat kita kerap kali menghakimi secara membabi-buta terhadap kesalahan-kesalahan kecil yang bersifat personal, sementara abai terhadap kejahatan sistemik yang jauh lebih merusak tatanan sosial. Kaum _privileged_ yang menulikan telinga dari jeritan kemiskinan di sekitarnya, seakan-akan lolos dari mata keadilan sosial. Padahal, dampak dari tindakan mereka jauh lebih mengakar dan menyebabkan luka yang lebih dalam pada struktur masyarakat.

Fenomena ini mencerminkan betapa kita terkadang terjebak dalam perspektif yang dangkal. Sibuk mengurusi "serpihan", namun mengabaikan "bongkahan" masalah yang lebih fundamental. Moralitas publik seolah hanya berkutat pada permukaan tanpa menyelam menuju dalamnya problematika sosial yang sesungguhnya, cukup miris. 

Ironi semacam ini bukanlah sekadar kesalahan persepsi, melainkan cermin dari kegagalan kolektif dalam membentuk kesadaran etis yang utuh. Kita telah terlampau lama menjadikan moralitas sebagai ajang spektakel, dipertontonkan di ruang publik bukan sebagai nilai luhur, tetapi sebagai alat penghakiman instan. Dalam ekosistem ini, moral menjadi komoditas, bukan lagi cermin keadilan atau kasih sayang.

Kita menyaksikan bagaimana standar ganda dijadikan norma: seorang perempuan yang berpakaian dianggap membawa "kemerosotan akhlak," tetapi pengemplang dana publik justru dielu-elukan sebagai tokoh sukses. Fenomena ini menggambarkan bukan hanya bias moral, tetapi juga kecacatan dalam struktur nilai kita. Di mana keadilan tak lagi tegak karena kebenaran, melainkan karena sorotan kamera dan intensitas linimasa.

Sudah saatnya kita meninjau ulang cara kita memaknai dosa dan pahala, bukan dalam bingkai ritualistik semata, tapi dalam keberpihakan pada nilai-nilai sosial yang transformatif. Bahwa kemuliaan akhlak bukan hanya terletak pada tubuh yang ditutup, tetapi pada hati yang terbuka terhadap penderitaan sesama. Moralitas sejati lahir bukan dari penghakiman, tapi dari empati yang membumi dan kesadaran yang tercerahkan.

Perlu disadari bahwa dari karya Gus Dur tersebut, kita paham bahwa sebuah keharusan untuk akhirnya meninjau ulang standar ganda dalam praktik moralitas sosial. Beliau menekankan bahwa kepekaan terhadap hal-hal asosial adalah bagian dari tanggung jawab moral yang lebih mendasar. Ketika masyarakat terlalu fokus pada urusan privasi seseorang tapi membiarkan ketimpangan dan ketidakadilan merajalela, maka moralitas kehilangan dimensi etisnya yang sejati.

Bagi Gus Dur, etika Islam tidak hanya bicara tentang larangan dan hukuman, tetapi juga —dan terutama— tentang keadilan, kasih sayang, serta keberpihakan kepada yang lemah. Maka dalam semangat itu, beliau mengusulkan agar umat Islam mengedepankan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan sebagai inti dari praksis keagamaan.

Sahabat Achmad Hafizh

Kader PMII Komisariat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Cabang Ciputat 

Editor: Sahabat Rakan Abdel Jabar 

Posting Komentar

0 Komentar