Dalam sejarah keilmuan Islam, peran perempuan dalam tafsir Al-Qur’an sering kali terabaikan dibandingkan dengan para mufasir laki-laki yang lebih banyak mendominasi. Namun, hal ini tidak berarti bahwa perempuan tidak memiliki kontribusi dalam bidang tafsir. Sejak masa sahabat hingga era modern, banyak perempuan yang berperan aktif dalam memahami, menafsirkan, dan mengajarkan Al-Qur’an. Mereka tidak hanya menjadi rujukan dalam memahami wahyu, tetapi juga menghasilkan karya-karya tafsir yang memiliki nilai keilmuan tinggi.
Salah satu perempuan yang memiliki kontribusi besar dalam dunia tafsir adalah Sayyidah Aisyah binti Abu Bakar. Sebagai istri Nabi Muhammad yang memiliki kecerdasan luar biasa, Aisyah tidak hanya dikenal sebagai perawi hadis, tetapi juga sebagai ahli dalam bidang tafsir. Banyak sahabat Nabi yang merujuk kepadanya untuk memahami makna ayat-ayat Al-Qur’an, terutama terkait hukum-hukum Islam dan peristiwa yang melatarbelakangi turunnya wahyu.
Keistimewaan Aisyah dalam memahami Al-Qur’an tidak lepas dari kedekatannya dengan Rasulullah. Ia sering menyaksikan langsung bagaimana wahyu diturunkan, sehingga memiliki pemahaman yang mendalam mengenai konteks historis dan sosial dari ayat-ayat tertentu. Selain itu, Aisyah juga memiliki keahlian dalam bahasa dan sastra Arab, yang semakin memperkuat kapasitasnya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan pendekatan linguistik.
Selain Aisyah, beberapa perempuan lainnya pada masa sahabat dan tabi’in juga memiliki peran dalam dunia tafsir. Misalnya, Hafshah binti Umar, istri Rasulullah yang juga dikenal sebagai penjaga mushaf Al-Qur’an sebelum dikodifikasikan oleh Khalifah Utsman bin Affan. Perempuan-perempuan ini tidak hanya berperan dalam menyebarkan ilmu agama, tetapi juga menjadi referensi bagi generasi berikutnya dalam memahami ajaran Islam.
Kontribusi Perempuan dalam Tafsir dengan Pendekatan Sufistik
Selain melalui jalur akademik dan hukum, banyak perempuan yang berkontribusi dalam tafsir Al-Qur’an melalui pendekatan sufistik. Dalam tradisi tasawuf, pemahaman terhadap Al-Qur’an tidak hanya berfokus pada aspek hukum dan sejarah, tetapi juga pada dimensi batin dan spiritual.
Salah satu perempuan sufi yang dikenal memiliki pemikiran mendalam dalam tafsir adalah Hukaymah dari Damaskus, seorang sahabat dan guru dari Rabi’ah al-Adawiyah. Hukaymah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan pendekatan sufistik, yang menekankan hubungan antara manusia dengan Allah melalui penyucian hati dan spiritualitas. Dalam penafsirannya terhadap QS. Asy-Syu’ara: 89, ia menekankan bahwa hanya hati yang bersih yang dapat bertemu dengan Allah, suatu ajaran yang menjadi dasar dalam praktik tasawuf.
Perempuan sufi lainnya yang turut berkontribusi dalam tafsir adalah Maymunah, saudara perempuan dari Ibrahim al-Khawwash. Dalam penafsirannya terhadap QS. At-Taubah: 118, ia menjelaskan bahwa kesempitan hati seseorang dapat membuat dunia terasa sempit meskipun secara fisik ada banyak ruang. Pandangan ini menggambarkan bagaimana pemahaman spiritual dapat memberikan perspektif baru dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Meskipun para perempuan sufi ini tidak secara khusus menulis kitab tafsir seperti mufasir laki-laki, pemikiran dan interpretasi mereka terhadap ayat-ayat tertentu memberikan kontribusi besar dalam pemahaman Islam, terutama dalam aspek spiritual dan kehidupan batin seorang Muslim.
Karya-Karya Tafsir Perempuan di Era Modern
Seiring berkembangnya zaman, semakin banyak perempuan yang tidak hanya terlibat dalam dunia tafsir, tetapi juga menulis karya-karya tafsir yang berpengaruh. Salah satu contohnya adalah Zayb An-Nisa Al-Makir (1658-1702), seorang putri dari raja Timurid India yang menulis tafsir berjudul Zayb al-Tafasir fī Tafsir al-Qur’an. Ia mendedikasikan seluruh hidupnya untuk menuntut ilmu tanpa menikah, menunjukkan bahwa perempuan juga dapat memiliki peran penting dalam pengembangan ilmu keislaman.
Di era yang lebih modern, Na’ilah Hasyim Sabri (1944-sekarang), seorang mufasir asal Palestina, menulis tafsir al-Mubassir li Nur al-Qur’an dalam 16 jilid. Tafsir ini merupakan hasil kajiannya selama lebih dari 20 tahun dan mencakup pemahaman mendalam terhadap seluruh Al-Qur’an. Karyanya menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya menjadi pengkaji tafsir, tetapi juga mampu menghasilkan karya besar yang menjadi rujukan di dunia Islam.
Selain itu, ada juga Kariman Hamzah, seorang penulis yang telah menerbitkan lebih dari 25 buku tentang Islam. Karyanya yang paling terkenal adalah tafsir al-Lu’lu wa al-Marjan fi Tafsir al-Qur’an dalam 4 jilid, yang telah diakui oleh Universitas Al-Azhar. Tafsir ini membuktikan bahwa perempuan tidak hanya aktif dalam dunia akademik Islam, tetapi juga mampu menghasilkan karya tafsir yang diakui oleh lembaga-lembaga keislaman ternama.
Zaynab Al-Ghazaliy (1917-2005), seorang aktivis Mesir dan anggota Ikhwanul Muslimin, juga memberikan kontribusi dalam tafsir dengan karyanya Nazarat fi Kitabillah. Tafsir ini menggunakan metode tahlili dan bercorak adabi wa ijtima’i, yang menghubungkan pemahaman Al-Qur’an dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat.
Salah satu tokoh perempuan paling berpengaruh dalam dunia tafsir adalah Prof. Dr. Aisyah Abdurahman Bint Syati (1913-1998), seorang guru besar tafsir di Universitas Al-Azhar. Ia menulis al-Tafsir al-Bayan lil Qur’an al-Karim dengan metode bayani, yaitu pendekatan yang menelaah lafaz Al-Qur’an berdasarkan stilistika dan konteksnya. Metode ini membantunya mengeksplorasi makna Al-Qur’an secara lebih mendalam dan sistematis, menjadikannya sebagai salah satu tokoh perempuan yang paling dihormati dalam dunia tafsir.
Peran Perempuan dalam Tafsir
Sejarah telah membuktikan bahwa perempuan memiliki peran penting dalam dunia tafsir Al-Qur’an, baik sejak masa sahabat hingga era modern. Mulai dari Aisyah binti Abu Bakar yang menjadi rujukan utama dalam memahami wahyu, hingga perempuan-perempuan sufi yang memberikan tafsir spiritual, dan para mufasir modern yang menghasilkan karya tafsir monumental.
Meskipun selama berabad-abad bidang tafsir didominasi oleh laki-laki, kontribusi perempuan tetap memiliki tempat yang signifikan dalam khazanah keilmuan Islam. Tafsir yang mereka hasilkan tidak hanya memperkaya pemahaman terhadap Al-Qur’an, tetapi juga membuka ruang bagi perspektif baru yang lebih luas dan mendalam. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk terus menggali, mengapresiasi, dan mempelajari kontribusi perempuan dalam dunia tafsir, agar warisan intelektual mereka tetap hidup dan menjadi inspirasi bagi generasi mendatang.
Sahabat Ahmad Ali Al Faridzi
Kader PMII Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Perguruan Tinggi Umum Cabang Ciputat
Editor: Sahabat
0 Komentar