Judul ini menjawab tuduhan yang ditulis oleh Sahabat Muhammad Husein Fadhillah. Hal ini dikarenakan adanya beberapa kekeliruan yang harus diluruskan agar tidak menjadi kesalahpahaman di masa yang akan datang.
Pada prolognya, beliau mengatakan bahwa Muhammadiyah lebih stabil dan lebih membatasi diri dari berbagai pengaruh luar yang menjadikan mereka tidak mudah goyah atas berbagai pemikiran yang sudah meluap banyaknya.
Pembatasan dan ketegasan yang dilakukan oleh Muhammadiyah memanglah bagus. Muhammadiyah menjadi tidak mudah goyah sekaligus menjadikannya tidak bisa mengkembangbiakkan pemikiran lain juga meneliti pemikiran-pemikiran baru di tengah era 4.0 ini. (Disclaimer terlebih dahulu, pandangan saya tidak sama sekali mendiskriminasi Muhammadiyah karena setiap golongan memiliki pedomannya masing-masing).
Paham Sunni yang di anut oleh NU dengan landasan 4 mazhab memiliki perbedaan pemikiran. Menurut saya, itulah yang menjadikan NU memberi ruang pemikiran-pemikiran baru dengan tidak ditolak mentah-mentah dan dikaji lebih mendalam. Harapannya agar pemikiran-pemikiran baru ini mampu menjadi maslahat di kemudian hari.
NU Tetap Abadi ber-Aswaja
Dalam sub judul pertamanya, ia membahas bahwa “Aswaja An-Nahdliyyah Tanpa Penyaring”. Ia mengatakan bahwa “NU seolah lupa pada Muqaddimah Qanun Asasi”. Perlu digarisbawahi bahwa NU tidak pernah lupa apalagi sampai meninggalkan Muqaddimah Qanun Asasi. Kebanyakan warga NU masih memeluk erat Muqaddimah Qanun Asasi yang dibawa oleh K.H. Hasyim Asy’ari, seperti Abuya Muhtadi Al-Bantani.
Contoh lainnya yaitu K.H. Said Aqil Siraj dan masih banyak lagi. Mungkin yang dimaksud lupa pada Muqaddimah Qanun Asasi tersebut yaitu para oknum yang mencari keuntungan atau menggunakan privilege nama NU untuk kepentingan pribadi. Jikalau benar yang dituduhkan ialah oknum-oknum tersebut, maka klaim “NU seolah lupa pada Muqaddimah Qanun Asasi” itu tertolak. Kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya itu kesalahan NU itu sendiri.
Perihal “ideologi-ideologi asing yang masuk dan menumpang nama besar NU”, ideologi asing dan menumpang nama besar NU itu seperti apa? Jikalau kita lanjutkan, beliau juga menerangkan maksud dari pernyataannya, yakni “dari tafsir dosen-dosen yang belajar di barat, hingga konten kreator yang membuat narasi agama di media sosial”.
Menurut saya pribadi, bukankah itu menjadi salah satu kemajuan atau perkembangan ilmu dan teknologi. Tinggal bagaimana kita menelaahnya dan menjadikan itu sebagai kemajuan yang bermanfaat baik untuk NU itu sendiri, umumnya untuk semua umat islam di dunia.
Perihal “dukun yang diberikan gelar gus dan diberikan label aswaja”, saya pun menyepakati itu. Tinggal bagaimana langkah tegas dari NU untuk menindaklanjutinya. Kita pun sebagai warga Nahdliyyin yang bijaksana harus pintar memilah dalam menerima pemikiran dan hal apapun dari berbagai arah.
Barat Bukan Ancaman, Melainkan Gembong Pengetahuan
Di sini saya ingin menyampaikan beberapa pertanyaan kepada penulis agar kita bisa merefleksikan terlebih dahulu secara objektif apa yang dimaksud dengan ideologi-ideologi asing yang dimaksud?
Dalam ranah akademik, tentunya kita harus memberikan suatu tranparansi yang jelas mengenai apa dan siapa yang kita jadikan ruang lingkup pembahasan kita? Objektifitas tentunya adalah hal yang utama dalam ranah akademik. Betapa dungunya seseorang memberikan opini yang bersifat kabur.
Yang kedua adalah bagaimana anda tahu terdapatnya ideologi-ideologi yang menumpang dalam organisasi NU? Apakah kita tidak boleh memiliki ideologi selain ideologi Aswaja? Jika iya, atas dasar apa? Tentu kita hidup di era kontemporer dan ideologi adalah hal yang perlu kita gunakan sebagai paradigma.
Tidak akan ada orang yang hidup tanpa sebuah ideologi. Pembahasan ideologi tentunya sangatlah komprehensif. Menilik dari buku Sejarah Ideologi Dunia karya Nur Sayyid Santoso Kristeva, Istilah kata ideologi pertama kalinya digunakan oleh Antoine Destutt de Tracy untuk menggambarkan Ilmu tentang ide.
Dalam artian sederhananya, Ideologi adalah sebuah ilmu tentang ide. Ketika saya mengatakan bahwa semua bentuk peperangan adalah sebuah kejahatan dan oleh karena itu saya menolak segala macam perang, kemudian ketika ungkapan saya bisa diteliti dan dianalisis sebagai ilmu, maka sah itu disebut Ideologi. Cukup dangkal sekali anda mengeklaim sesuatu tanpa ada sebuah referensi yang jelas.
Yang ketiga adalah pertanyaan seputar filsafat. Anda mengatakan "bahkan teori-teori filsafat dan sosiologi Barat yang dibungkus dalam narasi iman, fatwa-fatwa oknum intelijen dan politisi, serta dukun berkedok "Gus" pun ikut diberi label Aswaja".
"Dalam pandangan Kiai Abdul Wahab Ahmad (AWA), situasi ini telah menjadikan NU sebagai ruang persembunyian berbagai pemikiran menyimpang" sambungnya. Sekali lagi saya tekankan bahwa dalam ranah akademik perlunya sebuah bukti yang terverifikasi dan valid.
Teori-teori filsafat dan sosiologi barat yang seperti apa yang anda maksudkan? Apa maksud dari menjadikan NU sebagai ruang persembunyian? Apakah berarti NU menolak ilmu pengetahuan dari yang bukan lingkup NU? Akankah NU takut berdiskusi dengan pemikiran yang lainnya sehingga terus-menerus bersembunyi? Kalau memang begitu, maka NU memang cukup konservatif!
Para ulama klasik seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, hingga Ibn Rusyd telah berdialog aktif dengan pemikiran Yunani. Mereka tidak hanya mengkritik atau menolak, tapi juga menyaring, mengembangkan, dan menyesuaikan teori-teori tersebut dengan nilai-nilai Islam. Proses ini bukanlah bentuk infiltrasi ideologi asing, melainkan upaya ijtihad yang cerdas dan kontekstual.
Barat bukanlah sebuah ancaman atau musuh, justru sebagai ladang pengetahuan dan kita mengambilnya sebagai kebaikan. Dalam Islam, kita diajarkan untuk tidak melihat siapa yang berbicara tetapi dengarkan apa yang dibicarakannya.
Seorang filsuf terkenal yang namanya sering disebut di pojok-pojok diskusi Ushuluddin, Plato menggagas sebuah konsep negara ideal. Gagasan Plato terus menjadi diskusi dan menjadi sebuah perkembangan hingga munculnya negara demokrasi yang saat ini kita kenal, yaitu Indonesia.
Kamu tahu demokrasi yang saat ini dipakai oleh Indonesia berasal dari mana? Dalam buku Filsafat Politik karya Henry J. Schmandt, demokrasi berasal dari Yunani Kuno, tepatnya di Athena, yang kemudian diperbincangkan oleh para Filsuf.
Oleh karena itu, kita harus mengakui barat memiliki segudang pengetahuan. Namun bukan berarti Islam tidak memiliki pengetahuan. Hanya saja kita juga perlu mempelajari pengetahuan yang tidak ada dalam Islam untuk sebuah peradaban umat.
Perdebatan filsafat melahirkan berbagai macam pengetahuan dan dengannya kita bisa melihat mana yang benar secara hakikat. Sejatinya manusia ditakdirkan memiliki akal dan itu yang menjadikan kita berbeda dengan hewan. Oleh karena itu, kita pergunakan akal kita untuk menilai baik dan buruk, bukan hanya sekadar dogma-dogma, doktrin, perkataan orang, tetapi dengan akal kita.
Jika kita beragama tanpa menggunakan akal, apa bedanya kita dengan hewan yang menggunakan surban dan jubah? Tuhan memberi kita akal untuk bisa memahami dunia termasuk agama itu sendiri.
Filsafat barat memberikan kontribusi yang sangat mendalam bagi filsafat Islam. Tidak bisa kita pungkiri bahwa filsafat Islam adalah bentuk penggabungan dan pengembangan dari filsafat barat itu sendiri.
Dalam sosiologi, barat sangat berkontribusi mulai dari trias politica yang saat ini digunakan oleh negara Indonesia. Karl Marx yang merupakan seorang filsuf, sosiolog, dan ekonomom politik mengembangkan teori Materialisme Dialektika Historis. Dalam teorinya, semua perkembangan sejarah manusia adalah seputar perjuangan kelas.
Marx pernah mengutarakan “Agama adalah candu”. Dalam hal ini, Marx bukan membenci atau menolak agama, namun pada saat itu agama adalah sebuah gembong kapitalis yang melanggengkan kesadaran palsu dan menghambat kesadaran kelas. Teori Marx terus diperbincangkan dan akhirnya sampai kepada Tan Malaka.
Tan adalah seorang pahlawan yang namanya terus diperbincangkan sebagai tonggak perlawanan. Tanpanya mungkin kita masih terjebak kedalam Logika Mistika. Lantas dari perbincangan di atas, apakah filsafat adalah sebuah ancaman?
Marx adalah contoh nyata, bagaimana filsafat berperan aktif dalam perkembangan manusia. Tanpa adanya filsafat, tidak akan ada yang namanya pembahasan politik, ekonomi, negara, agama, atau apapun itu. Mungkin tanpa filsafat kita tidak bisa berfikir kritis. Ketika anda berfikir kritis dalam tulisan anda itu, anda pun secara tidak sadar sedang berfilsafat.
Sahabat Akhmad Rizal Kurniawan
Kader PMII Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Perguruan Tinggi Umum Cabang Ciputat
Editor: Sahabati Fauziah Nur Hasanah
0 Komentar