Jejak Politik Tiga Purnawirawan Jenderal Indonesia Part 2: Jend. TNI (Purn.) Dr. H. Wiranto

Wiranto lahir di Yogyakarta pada 4 April 1947, tumbuh di lingkungan yang sarat nilai-nilai militer dan nasionalisme. Setelah menamatkan pendidikan di Akademi Militer (Akmil) pada tahun 1968, ia memulai karir panjangnya di tubuh Tentara Nasional Indonesia. Sosoknya dikenal luas di kalangan militer sebagai perwira yang disiplin, loyal, dan sangat terstruktur dalam pengambilan keputusan. 

Dengan pengalaman strategis di berbagai satuan elite seperti Kostrad hingga puncaknya sebagai Panglima ABRI (1998–1999), Wiranto menapaki tangga komando dengan stabilitas yang mencerminkan kepiawaiannya dalam mengelola sistem birokrasi militer. Namun, keberadaan Wiranto dalam sejarah Indonesia tidak hanya sebagai figur militer; ia adalah salah satu aktor penting di era transisi politik pasca-Soeharto. 

Di tengah krisis multidimensi tahun 1998, ketika Indonesia berada dalam ketegangan sosial dan perubahan arah politik, Wiranto tampil sebagai tokoh yang mencoba menjembatani antara kepentingan stabilitas negara dan desakan reformasi publik. Perannya dalam masa ini tak lepas dari kontroversi, termasuk tudingan pelanggaran HAM dalam kerusuhan Mei 1998 dan kekerasan pasca-referendum Timor Timur.

Sebagaimana banyak purnawirawan militer lainnya, Wiranto kemudian mengambil langkah strategis dengan memasuki arena politik sipil. Pada tahun 2006, ia mendirikan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), sebuah kendaraan politik yang mencerminkan visinya untuk tetap terlibat dalam proses pengambilan keputusan nasional. 

Transisi ini tidak sekadar perpindahan peran, tetapi menunjukkan pola kesinambungan kekuasaan elite lama dalam sistem demokrasi baru—sebuah karakteristik yang umum ditemukan dalam fase transisi demokrasi di banyak negara berkembang.

Transisi ke Politik: Analisis Langkah Politik dan Kebijakan Strategis Wiranto

Langkah politik Wiranto menunjukkan dinamika unik antara masa lalu otoriter dan tuntutan demokratis. Setelah sempat mencalonkan diri sebagai presiden pada Pemilu 2004, ia memperkuat basis politiknya lewat Hanura meskipun tidak pernah memperoleh dominasi dalam parlemen, partai ini cukup untuk mempertahankan eksistensi politik pribadi dan menjadi alat tawar dalam koalisi pemerintahan.

Wiranto kemudian mendapatkan kembali panggung nasional ketika diangkat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) dalam Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo (2016–2019). 

Dalam posisi ini, pendekatannya terhadap isu-isu seperti terorisme, separatisme Papua, dan unjuk rasa besar-besaran (seperti Aksi 212) memperlihatkan watak politik yang mengedepankan stabilitas dan keamanan nasional di atas segalanya. Ia seringkali dituduh menghidupkan kembali semangat “securitization” yakni membingkai isu sosial sebagai ancaman nasional, sehingga legitimasi pendekatan represif menjadi lebih kuat.

Kebijakan-kebijakan yang diterapkan di bawah kepemimpinan Wiranto di Polhukam memperlihatkan pola konservatif yang konsisten, namun juga menimbulkan kekhawatiran akan kemunduran nilai-nilai kebebasan sipil. 

Penanganan isu separatisme Papua, misalnya, banyak dikritik oleh LSM dan komunitas internasional karena dianggap tidak mengedepankan pendekatan dialog. Demikian pula kebijakan pemblokiran internet dan kontrol informasi pada masa krisis, yang justru memperkuat kesan bahwa negara kembali ke praktik-praktik otoriter meski dalam balutan demokrasi prosedural.

Kontroversi dan Bayang-Bayang Masa Lalu

Sebagai tokoh publik, Wiranto tidak pernah benar-benar lepas dari bayang-bayang tuduhan pelanggaran HAM berat. Laporan PBB dan Komisi HAM Timor Timur pasca-1999 mencantumkan namanya dalam daftar tokoh yang dianggap bertanggung jawab atas kekerasan pasca-referendum. 

Meskipun proses hukum di dalam negeri tidak pernah berjalan tuntas, dan pemerintah cenderung menghindari konfrontasi langsung, hal ini tetap menjadi noda dalam catatan karier politiknya. Secara sosiologis, fenomena ini mencerminkan apa yang disebut oleh Thomas Carothers sebagai “grey zone democracy” di mana institusi demokrasi formal berjalan, tetapi keadilan transisional dan akuntabilitas belum sepenuhnya tegak.

Di sisi lain, keberhasilan Wiranto bertahan dalam dunia politik menunjukkan kuatnya jaringan patron-klien dan soliditas elite lama dalam membentuk ulang posisi strategis di era demokrasi. Ia bukan hanya simbol dari kesinambungan kekuasaan, tetapi juga dari bagaimana trauma masa lalu politik Indonesia masih diolah secara pragmatis, bukan transformatif.

Warisan Politik dan Relevansi dalam Demokrasi Indonesia

Warisan politik Wiranto adalah refleksi kompleks antara kebutuhan akan stabilitas dan tuntutan akan reformasi. Ia mewakili generasi transisional yang membawa nilai-nilai militeristik ke dalam sistem demokrasi, tetapi tidak sepenuhnya berhasil beradaptasi dengan semangat keterbukaan dan akuntabilitas publik. 

Dalam konteks perkembangan demokrasi Indonesia, kehadiran tokoh seperti Wiranto menjadi indikator bahwa reformasi institusional belum sepenuhnya diimbangi dengan reformasi kultural dan struktural dalam elite politik.

Meskipun kiprahnya dalam pemerintahan telah berakhir, figur Wiranto tetap penting untuk dianalisis sebagai contoh dari bagaimana elite militer pasca Orde Baru tidak hilang, melainkan berubah wajah. Keberadaannya dalam sejarah politik Indonesia akan selalu menjadi bagian dari diskursus besar tentang bagaimana demokrasi Indonesia menghadapi masa lalunya—antara memilih melupakan atau menyelesaikannya.

Referensi

RI P. Wiranto. Kemenko Polkam R.I. Published September 25, 1999. Accessed May 11, 2025. https://polkam.go.id/wiranto/

Sahabat M. Dhafin Evan Setiawan

Ketua Umum PMII Rayon FISIP (Fak. Ilmu Sosial dan Ilmu Politik), FIA (Fak. Ilmu Administrasi), dan Fak. Psikologi Komisariat Mahbub Djunaidi (Universitas Indonesia) Cabang Kota Depok

Editor: Sahabati Fitri Yanti

Posting Komentar

0 Komentar