Jalan Terjal Demokrasi di Tengah Bayang Kuasa Purnawirawan

Perjalanan panjang militer Indonesia dalam dunia politik adalah kisah yang sarat dinamika dan perubahan. Sejak masa Orde Baru, militer bukan hanya penjaga kedaulatan negara, tetapi juga aktor sentral dalam pemerintahan. Kala itu, konsep Dwi Fungsi ABRI mengukuhkan posisi militer sebagai kekuatan ganda: menjaga keamanan sekaligus mengatur roda pemerintahan. 

Namun, semua itu mulai berubah ketika angin reformasi berhembus pada tahun 1998. Gerakan reformasi bukan sekadar pergantian rezim; ia adalah momen pembebasan. Salah satu tuntutan paling mendesak saat itu adalah penghapusan dominasi militer dalam politik. 

Dwi Fungsi ABRI resmi dibubarkan, dan militer secara institusional mulai ditarik dari panggung kekuasaan sipil. Harapannya, supremasi sipil akan tumbuh dan menguat, memberi ruang bagi demokrasi untuk berakar lebih dalam. Namun, realitanya tak semudah itu.

Seperti dikemukakan oleh Sebastian, meski secara formal militer tidak lagi duduk di kursi-kursi kekuasaan, pengaruhnya masih terasa. Jaringan yang telah dibangun selama puluhan tahun tak lenyap begitu saja. Purnawirawan, mereka yang pernah berada di garis depan pertahanan negara, kini mengisi ruang-ruang politik dengan peran baru. 

Dunia politik menjadi pelabuhan setelah masa dinas, tempat mereka melanjutkan pengabdian dengan wajah yang berbeda. Fenomena ini tak terjadi dalam ruang hampa. Di kawasan Asia Tenggara, dinamika serupa juga muncul. David Hutt mencatat bahwa hanya segelintir negara seperti Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura yang mampu mempertahankan kendali sipil atas militer secara konsisten. 

Di negara-negara lain, batas itu mengabur. Ketika kekuasaan sipil melemah, militer—dengan segala kapasitas dan disiplinnya—masuk mengambil peran yang lebih luas. Dan dari sinilah muncul pertanyaan yang menggugah kesadaran kita bersama: “Mengapa fenomena ini terus terjadi? Apa yang membuat politik begitu menggoda bagi para purnawirawan? Dan yang terpenting—apa dampaknya bagi masa depan demokrasi kita?”

Di Indonesia, kita menyaksikan purnawirawan TNI yang tidak sekedar menjadi penonton dalam dunia politik, melainkan justru pemain aktif—bahkan, seringkali kunci. Mereka membawa serta keahlian strategi, kemampuan komando, dan penguasaan wilayah yang tak tertandingi. 

Tak jarang, partai-partai politik menggandeng mereka untuk memperkuat barisan, menyusun peta kekuasaan, dan memenangkan pertarungan elektoral. Sayangnya, di balik peran ini, tersirat pula kegagalan kita dalam membangun fondasi demokrasi yang kokoh.

Politik semestinya menjadi ruang rasionalitas sipil—bukan perpanjangan strategi militer. Ketika purnawirawan masuk dan mendominasi tanpa ada penyaringan visi, bukan tidak mungkin demokrasi kehilangan arah. Maka, memahami dinamika ini bukan hanya penting, tapi mendesak. 

Sebab di sinilah letak simpul persoalan yang menentukan kualitas demokrasi ke depan: apakah kita benar-benar bergerak menuju pemerintahan sipil yang sehat, atau justru tengah melanggengkan pengaruh militer dalam balutan baru.

Untuk memahami persoalan ini lebih dalam, silahkan para pembaca kiranya menelusuri kiprah ketiga tokoh purnawirawan militer yang memiliki pengaruh besar dalam politik Indonesia pasca reformasi dalam beberapa tulisan saya sebelumnya. Melalui mereka, kita dapat melihat bagaimana latar belakang militer membentuk gaya kepemimpinan, strategi politik, serta dampaknya terhadap konfigurasi kekuasaan nasional.

Dinamika Pensiunan Militer dalam Politik

SBY dengan pendekatan yang disiplin, terstruktur, dan cenderung hati-hati menunjukkan karakter militer yang dibalut dengan citra sipil yang tenang dan akademis. Ia sering mengedepankan diplomasi dan stabilitas, namun dalam beberapa kasus justru dinilai lamban dalam mengambil keputusan. 

Wiranto, dengan pengalaman sebagai Panglima ABRI di era krisis, tampak lebih tegas namun terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya, terutama terkait pelanggaran HAM. Prabowo tampil sebagai figur yang paling eksplisit mempertahankan narasi militeristik, bahkan dalam gaya berkomunikasi dan kampanye politiknya. 

Retorika nasionalis, visi tentang kedaulatan, serta wacana tentang ketertiban dan stabilitas menjadi ciri khas narasi politiknya. Meskipun kini menjabat sebagai presiden, publik masih mengamati apakah pendekatan kepemimpinannya akan memberi ruang bagi penguatan demokrasi atau justru dominasi sentralistik yang kuat.

Dari Kedisiplinan ke Koalisi Besar

SBY menampilkan strategi politik yang rapi dan sistematis. Ia membangun Partai Demokrat dari nol dan mengonsolidasikannya dengan cepat sebagai kekuatan baru pasca-Reformasi. Keberhasilannya memenangkan dua kali Pilpres menjadi bukti keunggulan manuvernya. 

Sementara itu, Wiranto menunjukkan fleksibilitas dalam bermanuver, berpindah dari Golkar ke mendirikan Partai Hanura. Namun, Hanura tidak berhasil menembus dominasi partai-partai besar, dan kiprah politiknya perlahan meredup. Prabowo justru menunjukkan ketangguhan luar biasa dalam konsistensi politik. 

Meski dua kali kalah dalam Pilpres, ia tidak mundur, dan justru membangun kembali kekuatan dengan pendekatan populis dan nasionalis. Bergabungnya Prabowo dalam kabinet Jokowi 2019 sempat menuai kritik, namun langkah ini menunjukkan kelihaian strategi kompromi politik. Koalisi besar yang dibentuknya dalam Pilpres 2024 memperlihatkan bagaimana figur militer bisa menjadi pemain sentral dalam konfigurasi kekuasaan sipil.

Ambivalensi Politik Para Jenderal

Keterlibatan para purnawirawan ini membawa dampak ambivalen terhadap demokrasi. Di satu sisi, partisipasi mereka memperkaya kompetisi politik dan membuka peluang untuk stabilitas di tengah fragmentasi sipil. SBY misalnya, mampu menjaga kestabilan politik nasional pasca-keterpurukan ekonomi dan konflik sosial. 

Namun di sisi lain, kecenderungan mereka untuk mengutamakan stabilitas ketimbang kebebasan sipil sering menimbulkan pertanyaan tentang komitmen mereka pada nilai-nilai demokrasi substantif. Prabowo yang dulu pernah dikaitkan dengan pelanggaran HAM dan gaya politik keras, kini memegang kekuasaan tertinggi di negeri ini. 

Banyak pihak khawatir terhadap potensi melemahnya oposisi, menguatnya sentralisasi kekuasaan, serta maraknya kompromi politik yang melemahkan checks and balances. Di titik ini, publik dituntut untuk tetap kritis dan aktif menjaga ruang demokrasi dari potensi kembalinya watak otoritarian dalam selubung demokrasi elektoral.

Jalan Panjang Sipilisasi Politik Indonesia

Fenomena politik para purnawirawan jenderal ini menunjukkan bahwa sipilisasi politik Indonesia belum benar-benar tuntas. Demokrasi kita tidak hanya diwarnai oleh kompetisi antarpartai dan ideologi, tapi juga tarik-menarik antara kepentingan sipil dan bayang-bayang militer. 

Ketiganya—SBY, Wiranto, dan Prabowo—mencerminkan spektrum berbeda dalam relasi tersebut. SBY mencoba menjadi jembatan antara keduanya, Wiranto mewakili residu masa lalu yang sulit hilang, dan Prabowo membawa wacana baru tentang bagaimana militer bisa menyatu dalam politik elektoral secara dominan. 

Ke depan, masa depan demokrasi Indonesia sangat bergantung pada bagaimana publik mengawasi, menilai, dan terlibat dalam proses politik. Hanya dengan partisipasi aktif dan kesadaran politik yang matang, demokrasi Indonesia bisa terus bertahan dan berkembang, bukan mundur ke arah orde kekuasaan yang tersentralisasi dan tertutup.

Referensi 

Hutt D. Kenapa Pemimpin Militer Mendominasi Politik Asia Tenggara? dw.com. Published November 23, 2024. Accessed May 4, 2025. https://www.dw.com/id/kenapa-pemimpin-militer-mendominasi-politik-asia-tenggara/a-70861132#:~:text=Pemimpin%20lama%20Kamboja%20Hun%20Sen,kendati%20resminya%20telah%20undur%20diri.

Jaringan Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia dalam Politik Relasi Sipil–Militer Pasca Reformasi TNI. Masyarakat. 2014;19(2). doi:https://doi.org/10.7454/mjs.v19i2.1245

Sahabat M. Dhafin Evan Setiawan

Ketua Umum PMII Rayon FISIP (Fak. Ilmu Sosial dan Ilmu Politik), FIA (Fak. Ilmu Administrasi), dan Fak. Psikologi Komisariat Mahbub Djunaidi (Universitas Indonesia) Cabang Kota Depok

Editor: Sahabati Lia Lutfiani

Posting Komentar

0 Komentar