Salah Kaprah Memahami Alquran Tanpa Sunnah

Secara etimologis, ingkar sunnah berasal dari kata Arab ankara yang berarti tidak mengakui atau menolak, baik secara lisan maupun hati. Secara terminologis, istilah ini merujuk pada paham segelintir umat Islam yang menolak otoritas sunnah sebagai sumber hukum Islam, baik secara keseluruhan maupun sebagian, tanpa dasar yang sah.

Penolakan ini bisa muncul dari pola pikir atau metode yang tidak diakui oleh para ulama hadis dan fikih. Terdapat tiga bentuk utama kelompok ingkar sunnah: pertama, yang menolak seluruh hadis Nabi; kedua, yang hanya menerima hadis yang termuat secara eksplisit dalam Al-Qur’an; dan ketiga, yang hanya menerima hadis mutawatir dan menolak hadis ahad meskipun sahih.

Asal-usul Kemunculan Paham Ingkar Sunnah

Imam Hasan Al-Bashri menceritakan kisah seorang sahabat Nabi, Imran bin Husain, yang tengah mengajarkan hadis. Seorang lelaki menyelanya dan meminta agar hanya mengajarkan Al-Qur'an. Imran lantas memanggilnya ke depan dan bertanya, apakah hanya dengan Al-Qur’an ia bisa mengetahui jumlah rakaat dalam salat atau cara thawaf dan sa’i. Lelaki itu akhirnya sadar dan bertobat, bahkan kemudian dikenal sebagai ahli fikih.

Ayyub As-Sakhtiyani, seorang ahli hadis abad kedua Hijriah, menyatakan bahwa orang yang hanya mau belajar dari Al-Qur’an tanpa hadis adalah orang yang sesat dan menyesatkan. Gejala ingkar sunnah ini awalnya muncul secara individual, belum menjadi gerakan kelompok atau mazhab, dan banyak ditemukan di Irak, khususnya Bashrah—tempat tinggal tokoh-tokoh yang menentang sunnah menurut Imam Syafi’i.

Menjelang akhir abad kedua Hijriah, barulah muncul kelompok-kelompok yang menolak sunnah secara sistematis, baik secara total maupun hanya hadis yang tidak mutawatir. Gejala awal ingkar sunnah muncul secara individual sejak masa sahabat dan tabi’in, seperti kisah Imran bin Husain dan Umayyah bin ‘Abdillah yang menunjukkan pentingnya hadis dalam menjelaskan praktik Islam yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an.

Ulama seperti Ayyub As-Sakhtiyani mengecam keras mereka yang menolak hadis. Fenomena ini banyak terjadi di Irak, khususnya Bashrah. Menjelang akhir abad kedua Hijriah, penolakan terhadap sunnah mulai berkembang menjadi kelompok yang menolak hadis secara keseluruhan atau sebagian, terutama yang tidak mutawatir.

Figur-Figur Pelopor Pemikiran Inkar Sunnah

Dr. Taufiq Shidqi, seorang dokter asal Mesir, adalah salah satu tokoh yang mempengaruhi paham inkar al-sunnah. Ia belajar dari Rasyid Ridha dan terpengaruh oleh ilmu teologi dan kedokteran modern. Pemikiran ini membuatnya meragukan hadis-hadis yang berkaitan dengan pengobatan, yang dianggapnya bertentangan dengan pengetahuan medis yang ia pelajari. Ia lahir pada tahun 1881 dan wafat pada 1920, meninggalkan warisan pemikiran yang mengkritisi hadis.

Ghulam Ahmad Parwez, tokoh dari India, juga mengadopsi pandangan serupa. Ia berpendapat bahwa pelaksanaan salat harus ditentukan melalui musyawarah pemimpin umat, tanpa harus mengikuti hadis secara tekstual. Parwez memahami sunnah bukan sebagai ajaran yang harus diterima secara harfiah, tetapi sebagai sistem atau ide yang dijalankan Nabi Muhammad saw. Menurutnya, hadis tidak diperlukan sebagai dasar hukum, melainkan sistem Islam itu sendiri yang kekal.

Kasim Ahmad, tokoh Malaysia yang terinspirasi oleh Rasyad Khalifa, menyerukan umat Islam untuk meninggalkan hadis dalam memahami ajaran Islam. Dalam bukunya Hadits Sebagai Suatu Penilaian Semua, ia menganggap hadis-hadis sebagai sumber perpecahan umat Islam dan mengkritik kitab-kitab hadis seperti Shahih Bukhari dan Muslim yang dianggapnya penuh dengan hadis dhaif dan maudhu. Ahmad berpendapat bahwa banyak hadis yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan logika, sehingga harus ditinggalkan sebagai sumber ajaran.

Argumentasi dan Pandangan dalam Inkar Al-Sunnah

Para pengikut Inkar Al-Sunnah mengemukakan beberapa argumen yang mendasari pandangan mereka. Mereka berpendapat bahwa agama Islam harus dibangun di atas dasar yang jelas dan pasti, yang hanya dapat dicapai dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber ajaran, karena Al-Qur’an merupakan kitab yang tidak diragukan lagi keberadaannya, sebagaimana ditegaskan dalam ayat Al-Qur'an: “Alif Lam Mim. Itulah Al-Kitab (Al-Qur’an) yang tidak ada keraguan di dalamnya” (Al-Baqoroh, 1-2).

Meskipun Al-Qur’an bersifat pasti dalam keberadaannya, mereka mengakui bahwa makna yang terkandung dalam ayat-ayatnya tidak selalu pasti dan bisa ditafsirkan berbeda, ada yang jelas (Qot’i Al-Dalalah) dan ada pula yang tidak pasti (Dhanni Al-Dalalah). Selain itu, mereka berpendapat bahwa Al-Qur’an sudah mencakup segala masalah kehidupan manusia, sehingga tidak perlu lagi merujuk pada hadis.

Mereka merujuk pada ayat "Tidak ada suatu apapun yang Kami tinggalkan dalam Al-Kitab (Al-Qur’an)” (Al-An’am, 38) untuk menguatkan argumen bahwa merujuk kepada hadis sama dengan menganggap Al-Qur’an tidak lengkap, yang bagi mereka merupakan bentuk penghinaan terhadap kitab suci tersebut. Kelompok ini juga cenderung memilih ayat-ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan pandangan mereka, sementara ayat-ayat yang bertentangan dengan pemahaman mereka tidak dipertimbangkan.

Dalam hal ibadah, meskipun mereka menolak sunnah sebagai sumber syariat, mereka tetap mengakui dan mempraktekkan hadis-hadis yang mutawatir, namun menolak hadis-hadis ahad. Terakhir, mereka berpendapat bahwa pada masa Nabi saw. hadis tidak pernah ditulis dan Nabi bahkan melarang penulisan hadis. Mereka beranggapan bahwa jika hadis memiliki kedudukan yang sama dengan Al-Qur’an, maka Nabi saw. seharusnya memerintahkan sahabat untuk menuliskannya sebagaimana perintah beliau untuk menulis Al-Qur’an.

Tanggapan atau Bantahan atas Argumen

Menguasai bahasa Arab dengan baik penting untuk memahami isi al-Qur’an. Namun, itu tidak berarti sunnah Nabi saw. bisa diabaikan. Justru dengan pemahaman bahasa Arab, seseorang akan sadar bahwa al-Qur’an sendiri memerintahkan umat Islam untuk mengikuti sunnah Nabi yang diriwayatkan oleh orang-orang terpercaya. Hal ini sejajar dengan kewajiban mengikuti al-Qur’an.

Kata "tibyan" dalam QS. al-Nahl (16): 89 menunjukkan bahwa al-Qur’an memberi penjelasan dalam tiga bentuk: Pertama, ketentuan hukum yang jelas, Kedua, perintah global yang perlu dijabarkan, dan Ketiga, ketentuan dari Nabi saw. yang tidak disebut langsung dalam al-Qur’an. Dengan demikian, hadis Nabi adalah penjelas ajaran Islam dan merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.

Imam al-Syafi’i dan para ulama lain sepakat bahwa hadis ahad bersifat zanni karena rawan kesalahan dalam periwayatan. Maka, hadis ahad hanya dapat dijadikan hujjah bila memenuhi kriteria shahih atau hasan. Karena itu, menolak seluruh hadis secara mutlak adalah keliru.

Kelompok inkar sunnah yang menolak otoritas hadis justru tidak konsisten. Mereka menggunakan hadis yang sanadnya terputus (munqathi’) atau dha’if untuk menolak hadis itu sendiri, padahal hadis tersebut tidak layak dijadikan argumen.

Sunnah Nabi saw., sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan ditegaskan oleh para ulama seperti Imam al-Syafi’i, merupakan bagian integral dari ajaran Islam yang tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, upaya menolak hadis justru akan melemahkan fondasi syariat dan membuka ruang bagi penafsiran Islam yang lepas dari tradisi keilmuan yang otoritatif.

Sahabat Achmad Mulchi Yakfi

Kader PMII Komisariat Fakultas Dirasat Islamiyah Cabang Ciputat

Editor: Sahabati Lia Lutfiani

 

Posting Komentar

0 Komentar