Pergerakan Untuk Rakyat atau Untuk Pejabat?

Ciputat, 22 April 2025 - Dalam peta Islam Indonesia hari ini, Nahdlatul Ulama (NU) dan organ-organ kaderisasinya seperti PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) punya posisi strategis: besar, berpengaruh, dan punya legitimasi kultural. Tapi makin kesini, pertanyaannya makin tajam, seberapa jauh NU dan PMII masih berani bicara atas nama rakyat, bukan atas nama relasi kuasa?

PMII: Kaderisasi atau Karpet Merah ke Kekuasaan?

PMII sering menyebut dirinya sebagai “anak ideologis NU” dan memang secara sejarah dan nilai, ia lahir dari rahim pemikiran Islam moderat dan kerakyatan. Tapi hari ini, banyak yang melihat PMII lebih sibuk mencetak kader untuk naik jabatan, bukan untuk menyuarakan keresahan publik.

Alih-alih menjadi oposisi moral terhadap kekuasaan, sebagian kader PMII justru berlomba menjadi bagian dari sistem: jadi tim sukses, staf ahli, relawan menteri, atau ikut rebutan posisi strategis di BUMN dan kementerian. Bukannya salah, tapi ketika semua gerakan diukur dengan logika akses kekuasaan, maka independensi gerakan nyaris lenyap.

Lalu, bagaimana mungkin PMII masih menyebut dirinya "gerakan" kalau kritik sosialnya tumpul dan analisis politiknya hanya jadi bungkus untuk cari legitimasi?

Dilema Gerakan Mahasiswa Berbasis Kultural

PMII menghadapi dilema khas organisasi kultural-religius, antara menjaga kedekatan dengan struktur keulamaan NU dan bersikap kritis terhadap negara. Ketika NU makin mesra dengan penguasa, ruang gerak PMII untuk mengkritik otomatis menyempit. Mereka terperangkap antara “_gak enak ke kiai_”, “_gak enak ke senior_”, dan “_gak enak ke atasan_.”

Akibatnya, banyak gerakan PMII hari ini yang kehilangan taji. Aksi hanya ramai saat momen-momen seremonial atau demi jatah politik kampus. Isu-isu strategis seperti ketimpangan, kekerasan negara, hingga isu lingkungan nyaris tak menjadi fokus utama. PMII berubah dari organisasi gerakan menjadi komunitas alumni yang berjejaring dalam sistem kekuasaan.

Islam, Intelektual, dan Etika Perlawanan

Padahal, PMII pernah dikenal dengan nalar kritisnya. Diskursus Islam progresif, tradisi intelektual pesantren yang dibawa ke ruang-ruang publik, hingga keberpihakan pada rakyat kecil, semua itu adalah warisan yang kini nyaris tinggal nama. Yang tersisa hari ini justru sikap pragmatis: dekat kekuasaan demi proyek, eksistensi, atau pencitraan.

PMII butuh reorientasi. Jika masih ingin relevan, ia harus kembali ke akar: membela yang lemah, menantang ketimpangan, dan berani mengkritik, termasuk mengkritik NU dan negara bila perlu. Islam tidak akan kehilangan martabat karena berbeda sikap dengan kekuasaan. Justru Islam akan kehilangan makna bila terus dijadikan alat legitimasi.

PMII, Saatnya Tak Lagi Diam

PMII mesti sadar, bahwa diam dalam ketidakadilan adalah bentuk keberpihakan. Netralitas hanya menguntungkan penindas. Jika memang mengusung semangat "Habituasi Intelektual dan Spiritual", maka kritik terhadap sistem yang timpang adalah bagian dari zikir intelektual itu sendiri.

Bukan saatnya lagi menjadi organisasi yang hanya hadir saat konferensi, seminar, atau pelantikan jabatan. PMII harus kembali turun ke jalan, ke kampung, ke pesantren, ke pabrik, dan ke sawah mendengar langsung suara yang hari ini semakin pelan terdengar karena dikalahkan bisingnya elite yang saling memuji.

Kalau tidak sekarang, kapan lagi PMII menjadi gerakan yang benar-benar melawan ketidakadilan?

Referensi

https://nu.or.id/opini/pmii-dalam-merawat-tradisi-intelektual-nu-5OLsH?utm_source=chatgpt.com

https://www.averroes.or.id/melacak-akar-ideologi-gerakan-mahasiswa-islam-indonesia.html?utm_source=chatgpt.com 

Sahabat Hurru Syauqi Asy’ari

Kader PMII Komisariat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Cabang Ciputat 

Editor: Sahabat Rakan Abdel Jabar

Posting Komentar

0 Komentar