Konon katanya, mahasiswa adalah agen perubahan. Tapi belakangan ini, agen-agennya lebih sering online di grup Whatsapp daripada turun ke jalan. Katanya revolusioner, tapi jempolnya lebih aktif dari kakinya. Dulu mahasiswa memanggul mimbar, kini memanggul bantal.
Dulu berteriak lantang di jalanan, kini lebih sibuk bikin thread Twitter yang penuh dengan teori khas mahasiswa bahlilian, "mutar-muter gak karuan". Pergerakan yang dulu adalah panggilan nurani, kini mulai berubah jadi tren estetik.
Ruang Sekretariat yang Kehilangan Rohnya
Diskusi ideologi tergantikan dengan debat receh soal siapa paling kiri, siapa paling kanan. padahal semua sama, takut gerah kalau disuruh turun aksi. Ruang sekret yang dulu jadi tempat bakar semangat, sekarang lebih sering jadi tempat numpang colokan dan rebahan sambil ngedit konten acara.
Sekretariat sudah seperti co-working space budget rendahan yang nihil gerakan. Kalau Marx hidup di zaman ini, mungkin ia akan menulis buku baru: Das Kapitalisme Rebahan "sebuah kisah tentang generasi yang sadar ketimpangan, tapi memilih menghadapinya dengan tiduran".
Banyak Gaya, Minim Nyata
Lucunya, yang paling keras teriak "Revolusi!" seringkali yang paling sulit dibangunkan dari tidur siangnya. “Kita harus lawan ketidakadilan!” katanya dengan penuh semangat di caption instagram. Di dunia nyata? Absen. Sibuk katanya, tapi terakhir dilihat online saat jam rapat. Dan kita semua tahu, “ada urusan mendadak” itu bahasa halus dari “lagi nggak mood aja”.
Gerakan mahasiswa kini perlahan berubah jadi gerakan jempol. Twibbon solidaritas dibagikan cepat, tapi ketika ada aksi di depan rektorat, yang datang cuma banner dan angin. Yang mengaku “bersama rakyat” bahkan belum tentu bisa membedakan harga beras medium dan premium. Lebih hafal harga kopi susu kekinian ketimbang tahu isu-isu agraria.
Tak sedikit juga yang menyembunyikan kemalasan di balik narasi “self healing”. Katanya sedang refleksi diri, padahal hanya sedang ngopi cantik di kafe dengan Wi-Fi stabil. Refleksi yang katanya demi memperkuat diri, ternyata cuma memperkuat feed Instagram.
Kutipan Banyak, Gerakan Kosong
Kita sedang menyaksikan lahirnya spesies baru dalam dunia pergerakan, aktivis estetik. Mereka yang tahu semua jargon, hafal nama-nama tokoh kiri, kutipannya bisa sampai sepuluh baris, tapi ketika ditanya “apa yang sudah kamu lakukan?”, jawabannya menguap seperti asap vape, banyak gaya dan cepat hilang.
Rapat-rapat organisasi kini lebih mirip kelas motivasi. Isinya wacana demi wacana, renungan-renungan abstrak yang lebih cocok jadi puisi kontemporer. Ketika waktu evaluasi datang, semua diam. Namun tatkala momen foto-foto datang, semua semangat. Kita lebih takut kehilangan dokumentasi ketimbang kehilangan arah gerakan.
Organisasi sebagai Ajang Pencitraan
Tak jarang pula, aktivis zaman now lebih sibuk mengurus feed-feed estetik yang penuh quote dan caption perjuangan, tapi minim aksi nyata. Caption-nya keras, tapi langkahnya tak pernah menuju medan pergerakan. Hari demi hari, Kita mulai menciptakan budaya aktivisme semu, berjuang dalam narasi, tapi pasif dalam realita.
Yang lebih menyedihkan, ada juga yang menjadikan organisasi sebagai batu loncatan. Bukan batu loncatan untuk melompat pada perubahan sosial, tapi batu loncatan menuju panggung-panggung penuh pencitraan. Cita-cita perjuangan dipangkas demi posisi dan jabatan, apalagi hanya untuk keren-kerenan karena menjadi ketua dari organisasi mentah yang dibuatnya sendiri.
Bergerak atau Hanya Terlihat Bergerak?
Ini bukan hanya ironi, melainkan sudah masuk ke tahap absurditas. Sebuah generasi yang teredukasi, tapi terjebak dalam keasyikan tak berguna. Kita jadi kaum yang senang membaca sejarah perlawanan, tapi tak berani menciptakan sejarah baru.
Otokritik ini bukan untuk menyalahkan, apalagi menghakimi. Tapi barangkali sudah waktunya kita duduk sebentar, bukan untuk rebahan, tapi untuk jujur pada diri sendiri. Penulis juga sadar betul belum benar-benar tegak lurus dengan nafas pergerakan, tetapi biarlah tulisan ini kekal dalam dunia digital untuk menjadi reminder bagi para pembaca, atau setidaknya bagi penulis sendiri agar senantiasa dihantui oleh sebuah pertanyaan penting.
Apakah kita benar-benar masih bergerak? Ataukah kita hanya sedang membuat ilusi gerakan agar tetap terlihat keren di mata publik hanya karena bergabung dengan grup yang menyematkan kata "pergerakan" pada nama organisasinya?
Dari Kamar ke Sejarah, atau ke Lupa?
Sungguh apabila revolusi hanya jadi bahan diskusi sambil ngopi yang dengan sengaja kita atur supaya bisa kita posting dengan latar hitam dan font serif, maka mungkin kita tak sedang melawan sistem, kita hanya sedang membangun persona "Si Paling Revolusioner".
Revolusi tak pernah lahir dari kasur empuk. Ia lahir dari kegelisahan, ketidaknyamanan, dan keberanian. Bila kita hari ini lebih nyaman daripada gelisah, mungkin kita bukan sedang berjuang, melainkan sedang menunggu giliran untuk dilupakan sejarah.
Untuk saat ini, pergerakan hanyalah khayalan oknum aktivis yang hanya aktif diatas kasur, tentu tidak jelas apakah ia sudah lelap tertidur, atau dalam mode bergerak dan kabur meninggalkan organisasinya karena tergoda proyek murahan dari seorang dewan!
Tahlil!
Sahabat Anonim “Don Arfa”
Kader PMII Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Perguruan Tinggi Umum Cabang Ciputat
Editor: Sahabat Rakan Abdel Jabar
0 Komentar