Perang Posisi; Menghadang Generasi Ongkang-ongkang

Kita ialah generasi baru yang ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Kita adalah hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua. Kitalah generasi yang memakmurkan Indonesia (Soe Hok Gie).

Mahasiswa adalah agen perubahan dan sosial. Tetapi apa jadinya ketika mahasiswa tidak lagi menjalankan fungsinya?

Mahasiswa tidak lagi duduk dan berdiskusi di kantin-kantin, taman-taman, dan lorong-lorong kampus (red: uin Jakarta). 

Mahasiswa tidak lagi menyukai kajian-kajian kritis. Mahasiswa tidak lagi menyukai aksi-aksi dalam menyuarakan suara-suara rakyat. Mahasiswa lebih menyukai “nongkrong” dan ngopi-ngopi dengan membicarakan hal-hal yang tidak penting atau mengecek hand phone yang belum tentu memiliki pulsa.

Gaya hidup mereka pun kian menjadi hedonis. Tidak lagi mempedulikan lingkungan sekitar mereka. Malu bagi mereka untuk turun ke jalan atau berdemonstrasi. Hal ini dikarenakan banyak dilihat orang dan takut akan panas teriknya matahari membuat kulit-kulit putih mereka menjadi hitam. 

Inilah generasi “ongkang-ongkang”. Generasi yang nyantai-nyantai, menerima apa adanya, dan tidak peduli kondisi sosial yang mereka tempati seolah-oleh tidak terjadi apa-apa. Generasi ini seperti virus yang cepat menyebar ketika dimasukkan ke dalam komputer. Dibutuhkan pula anti virus yang tangguh untuk menghilangkan atau men-delete-nya.

Perubahan Faktor Determinan

Kehidupan mahasiswa yang hedonis, lebih suka “nongkrong” yang tidak jelas, ngumpul-ngumpul tanpa ada tujuan, dan lain-lain dapat kita jelaskan misalnya dalam teori sosial.

Asumsi umum dalam teori ilmu sosial menyebutkan bahwa perubahan adalah faktor determinan dalam perubahan perilaku seseorang. 

Cakupan konsep perubahan adalah yang diidentifikasi sebagai pembangunan dan perkembangan (development), kemajuan (progresif), modernisasi, reformasi, transformasi, revolusi, dan lain-lain. 

Dengan perubahan yang terus-menerus secara berlanjut serta dalam skala waktu dan ruang yang makin luas, maka makin berkomplikasi dan berakumulasi dalam seluruh segi kehidupan, dari semakin banyaknya segmen sosial dan pertumbuhan yang makin dipercepat (Prisma, No. 1 – 1998).

Pembangunan gedung-gedung kampus (red: uin Jakarta) bagaikan gedung pencakar langit dengan segala fasilitasnya; kantin-kantin atau kafe-kafe kecil bermunculan; komersialisasi lahan kampus, misalnya pengelolaan lahan parkir motor untuk mahasiswa dikelola oleh perusahaan swasta dengan memunguti uang parkir kepada mahasiswa. 

Akibatnya kampus tidak lagi sebagai tempat mencari kebenaran; kampaus tidak lagi sebagai tempat para intelektual merumuskan dan mengkritisi kebijakan pemerintah, tetapi lebih sebagai tempat mal-mal di kota besar.

Kondisi demikian dapat mempengaruhi perilaku, tingkah laku, dan pola kehidupan mahasiswa. Individualis, gaya hidup yang mewah, berpakaian ala artis, sibuk dengan tanggapan-tanggapan status di Facebook, dan tidak lagi kritis dengan kondisi sosial masyarakat sekitar adalah dampak dari kondisi tersebut. Apa jadinya dunia ini kalau kondisi mahasiswanya seperti itu? 

Revolusi Kesadaran

Untuk itu kita membutuhkan sebuah kesadaran yang mendalam, itulah revolusi kesadaran. Revolusi kesadaran seperti dalam pemikiran Gramsci yaitu the war of position, perang posisi. Yakni sebuah peperangan moral dan intelektual (Kholis Malik, opini). 

Dampaknya ialah dapat membangkitkan kesadaran kritisnya, Kesadaran terhadap kondisi sosialnya; kesadaran terhadap keterkungkungan atau keterbelengguan modernisme yang mengakibatkan hedonis, individualis, dan keteralianasi.

Dalam kerangka revolusi kesadaran, kita juga membutuhkan peran mahasiswa organik, yaitu mahasiswa yang sadar akan kondisi lingkungannya dan ke mana dia akan mengabdikan diri, memperjuangkan hak-hak rakyat dan menumpas para koruptor. 

Sebagaimana kata-kata Soe Hok Gie, “Kita adalah generasi baru yang ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau, kita adalah hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua, kitalah generasi yang memakmurkan Indonesia”.

Oleh karena itu, kemandirian dan karekter serta intelektual kritis sebagai mahasiswa harus dimiliki dalam menghadapi berbagai kondisi sosial yang kian komplek, dalam rangka memperjuangkan kesejahteraan yang adil dan beradab.

Sahabat Muh. Samsul Anwar

Ketua Umum PMII Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Perguruan Tinggi Umum Cabang Ciputat 2018-2019 M

Editor: Sahabati Fauziah Nur Hasanah 

Posting Komentar

0 Komentar