Islam Nusantara merupakan istilah yang baru diperkenalkan pada tahun 2015 lalu. Sempat menjadi perdebatan para pemikir Islam pada masa itu, bahkan sampai sekarang masih ada saja yang membahasnya. Menurut Kiai Said Aqil Siroj, Islam Nusantara adalah ajaran Islam yang dipraktikkan oleh umat Islam di Indonesia dengan cara mengintegrasikan ajaran Islam dengan budaya setempat.
Islam Nusantara bukan mazhab, aliran, atau sekte baru, melainkan tipologi Islam yang khas. Kiai Said harus menjadi rujukan penting dalam pembahasan Islam Nusantara ini karena pada masa beliau Ketua PBNU lah terminologi ini dikenalkan. Islam nusantara adalah istilah baru, namun tidak dengan pengamalannya.
Pro-Kontra Islam Nusantara di Ruang Publik
Di internet sekarang, kita dapat menemukan berbagai pendapat yang membenarkan Islam Nusantara ini. Begitu juga yang menegaskan bahwa Islam Nusantara ini sesat. Penulis akan menyandingkan pendapat tersebut dengan suatu hadis nabi yang sangat berkaitan dengan Islam Nusantara, membahas tradisi dan budaya.
"Maka, agama itu bukan untuk Allah, tetapi untuk kita (manusia). Semua aturan dalam agama adalah untuk membangun kehidupan yang berbudaya, beradab, bergengsi, berkarya, dan bermartabat," tutur lulusan Ummu al-Qura' Makkah.
Kehadiran agama Islam mengarahkan manusia, yang merupakan makhluk (insan) untuk berbudaya, beradab, bergengsi, dan bermartabat dengan perangkat yang telah diberikan Allah. Karenanya menjadi keniscayaan bahwa insan harus hidup harmoni, intim, saling mendukung, melengkapi, dan menyempurnakan.
"Jadi, agama tidak pernah dimaksudkan untuk merusak keharmonisan, justru untuk mendukung insaniah, mendukung keharmonisan" tandasnya dalam pengajian bertema "Beragama Setengah Linglung di Negeri Setengah Bingung".
Islam sebagai pendatang dari Arab harus tunduk dan patuh kepada Indonesia selaku pribumi sehingga Islam harus siap “dipribumisasikan” agar tunduk kepada budaya setempat. Karenanya, tidak boleh lagi ada istilah “Islamisasi Indonesia”, tetapi yang mesti dilaksanakan adalah “Indonesia-isasi Islam”. Jadi, jangan pernah katakan “Indonesia negara Islam”, tapi katakanlah “Islam ada di Indonesia”.
Tanggapan Kritis atas Indonesia-isasi Islam
Beberapa memberi tanggapan bahwa jika pola pikir ini benar, maka Islam di China mesti di-China-isasi, Islam di India mesti di-India-isasi, Islam di Amerika juga mesti di-Amerika-isasi, dan seterusnya. Islam di dunia akan jadi bermacam-macam dan berjenis-jenis sesuai negerinya.
Jika mundur lagi ke belakang, mestinya saat Islam ada di tengah masyarakat Jahiliyyah, maka Islam harus di-jahiliyyah-isasi. Jelas, pola pikir di atas ngawur dan tidak ilmiah, bahkan sesat menyesatkan.
Mungkin sebagian orang akan berubah ekspresi wajahnya ketika membaca beberapa pendapat itu menjadi tegas dan sebagian lainnya akan tertawa. Ekspresi lainnya bisa ditulis di kolom komentar.
Islam yang ada di Indonesia pasti tidak sama dengan Islam tempat turunnya wahyu. Orang Indonesia juga tidak sama dengan orang yang ada di tempat turunnya wahyu. Mungkin nalar ini cukup untuk menanggapi pendapat para pemikir tadi. Namun bagi orang yang sangat membutuhkan hadis Nabi saw, hal ini sangatlah sulit untuk mereka pahami.
Dalil Tradisi dalam Hadis Nabi
Sesuai janji di awal, penulis akan menyampaikan sebuah hadis yang sangat berkaitan dengan budaya dan tradisi. Hadis “La far’a wa la ‘atirah” sangat sesuai untuk disandingkan dengan budaya dan tradisi. Far’a dimaknai dengan unta muda yang disembelih dan ‘atirah sebagai penyembelihan kambing di bulan Rajab atau disebut tradisi rajabiyah. Far’u dan ‘atirah merupakan tradisi Jahiliyah dan masih ada di zaman Nabi saw.
Bagaimana Nabi saw menanggapi tradisi dan budaya yang ada? Setiap bangsa memiliki budayanya masing-masing. Kita juga bisa memahami hadis di atas dengan sepintas, namun terdapat hadis lain yang menjelaskan larangan itu. Akankah Nabi saw dengan tegas melarang tradisi yang sudah berkembang?
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ ح و حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٌّ عَنْ بِشْرِ بْنِ الْمُفَضَّلِ الْمَعْنَى حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ قَالَ قَالَ نُبَيْشَةُ نَادَى رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّا كُنَّا نَعْتِرُ عَتِيرَةً فِي الْجَاهِلِيَّةِ فِي رَجَبٍ فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ اذْبَحُوا لِلَّهِ فِي أَيِّ شَهْرٍ كَانَ وَبَرُّوا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَأَطْعِمُوا قَالَ إِنَّا كُنَّا نُفْرِعُ فَرَعًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فِي كُلِّ سَائِمَةٍ فَرَعٌ تَغْذُوهُ مَاشِيَتَكَ حَتَّى إِذَا اسْتَحْمَلَ قَالَ نَصْرُ اسْتَحْمَلَ لِلْحَجِيجِ ذَبَحْتَهُ فَتَصَدَّقْتَ بِلَحْمِهِ
“Seorang laki-laki memanggil Rasulullah. Sesungguhnya kami dahulu menyembelih hewan pada sepuluh pertama bulan Rajab pada masa Jahiliyah, maka apakah yang Anda perintahkan kepada kami? Beliau berkata, "Sembelihlah karena Allah pada bulan apa saja, dan berbaktilah kepada Allah 'Azza wa Jalla, serta berilah makan!"
Hadis inilah yang pantas sebagai landasan tradisi yang pemikirannya sempat hangat pada Muktamar PBNU Ke-33 di Jombang dan sempat digunakan Presiden Joko Widodo dalam pembukaan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Jakarta 2015 silam.
Referensi
https://nu.or.id/nasional/kiai-said-islam-nusantara-sebagai-benteng-dari-timur-kHxr0
https://semarak.co/inilah-kesesatan-jemaat-islam-nusantara/
Sahabat Abdurrohman Al Faiz
Kader PMII Rayon Manajemen Pendidikan Komisariat Fakultas Tarbiyah Cabang Ciputat
Editor: Sahabati Fitri Yanti
0 Komentar