Darus-Sunnah, Jakarta – Dalam rangka memperingati Haul Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, Ma’had Darus-Sunnah menggelar kegiatan Diseminasi Hasil Kajian Al-Qur’an dengan tajuk “Mengenal Lebih Dekat Tafsir Tahlili Kemenag RI”. Acara ini menghadirkan dua tokoh penting dalam bidang tafsir dan pengembangan Al-Qur’an di Indonesia, yakni Dr. KH. Ali Nurdin, MA (Wakil Rektor Universitas PTIQ Jakarta) dan H. Abdul Aziz Sidqi, M.Ag (Kepala LPMQ Kemenag RI).
Kehadiran dua tokoh tersebut bukan hanya memberikan gambaran utuh tentang dinamika penafsiran Al-Qur’an di Indonesia, tetapi juga membuka ruang refleksi atas kontribusi besar Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub dalam pengembangan tafsir berbasis hadis dan otoritas keilmuan. Dalam kesempatan ini, KH. Abdul Aziz Sidqi secara khusus memaparkan sejarah lahirnya Tafsir Tahlili Kemenag serta proses penyempurnaan yang melibatkan peran sentral Pak Yai, sapaan akrab Prof. Ali Mustafa Yaqub, dalam menjaga ketepatan dan kedalaman kandungan tafsir tersebut.
Sejarah dan Kandungan Tafsir Tahlili Kemenag oleh KH. Abdul Aziz Sidqi
KH. Abdul Aziz Sidqi membuka pemaparannya dengan mengenang sosok sahabat sekaligus gurunya, KH. Ali Nurdin, yang juga merupakan murid pertama Prof. Ali Mustafa Yaqub. Ia bercerita tentang kedekatan mereka semasa sering mengaji di Darus-Sunnah, bahkan sempat tinggal dalam kontrakan yang sama.
Dalam pemaparannya, KH. Abdul Aziz memperkenalkan berbagai produk Al-Qur’an yang diterbitkan oleh Kemenag RI, seperti Al-Qur’an dan Terjemahannya serta Al-Qur’an dan Tafsirannya. Dua produk ini sangat terkait dengan Prof. Ali Mustafa Yaqub (Pak Yai), karena beliau terlibat langsung dalam proses penyempurnaan, khususnya edisi 2022.
Lembaga Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) sendiri berdiri sejak 1957, dan terjemahan Al-Qur’an Kemenag mulai hadir tahun 1965. Dalam penyempurnaan edisi 2002 dan 2022, tokoh-tokoh seperti KH. Ahsin Sakho, Prof. Quraish Shihab, dan Prof. Agil Munawar turut dilibatkan, dengan Pak Yai memberi kontribusi penting, terutama dalam aspek hadis.
Kritik Terjemahan dan Lahirnya Tafsir Kemenag
Salah satu koreksi penting dari Pak Yai adalah penerjemahan "imra’atul ‘aziz" yang dulu ditafsirkan sebagai Zulaikha. Menurut beliau, penyebutan nama ini lemah secara sanad hadis. Akhirnya, dalam edisi terbaru, nama tersebut dihilangkan.
Karena terjemahan saja dianggap belum cukup untuk memahami Al-Qur’an, maka Kemenag merilis tafsir lengkap 30 juz pertama kali pada 1980. Proyek ini digawangi oleh Prof. Soenarjo, lalu dilanjutkan Prof. Bustami A. Gani, dan kemudian Prof. KH. Ibrahim Hosen. Namun, edisi awal tidak terlalu diminati karena tebal dan mahal.
Tafsir ini juga pernah dianggap sebagai versi terjemahan dari Tafsir Al-Maraghi karena kesamaan isinya. Proses penyempurnaan mulai dilakukan secara lebih serius pada 2004–2008 dengan melibatkan KH. Ahsin Sakho sebagai ketua tim dan Prof. Ali Mustafa Yaqub sebagai wakil ketua. Peran Pak Yai sangat penting, khususnya dalam pen-takhrij-an hadis.
Kritik terhadap Konten dan Relevansi Tafsir Sepanjang Zaman
Pak Yai juga termasuk yang paling keras mengkritik muatan Israiliyyat dalam tafsir Kemenag, terutama penafsiran QS. Al-A’raf ayat 157 tentang istilah “Parakletos”. Menurut beliau, pemahaman ini harus diluruskan agar sesuai dengan perspektif Islam.
KH. Abdul Aziz menutup pemaparannya dengan menyampaikan bahwa Kemenag akan segera melakukan penyempurnaan edisi terbaru, mengingat tafsir harus selalu relevan terhadap konteks zaman dan tempat. Kini, Tafsir Kemenag sudah diunduh hampir dua juta kali melalui situs quran.kemenag.go.id, menandakan betapa besar minat masyarakat terhadap tafsir ini.
Gagasan Penafsiran Pak Yai Ali dalam Pandangan Prof. Ali Nurdin
Prof. Ali Nurdin, Wakil Rektor Universitas PTIQ Jakarta, mengenang awal perjumpaannya dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub pada tahun 1991 di PTIQ, saat Pak Yai mulai mengampu mata kuliah tafsir tematik—satu pendekatan yang saat itu belum begitu dikenal luas. Setahun berselang, Prof. Ali mulai berguru lebih intens kepada Pak Yai, bersama dua rekannya, Saifuddin dan Manan. Kedekatan intelektual dan emosional itu terus berlanjut bahkan setelah Prof. Ali menyelesaikan kuliahnya di tahun 1995; sosok pertama yang ia sowani adalah Pak Yai.
Kebersamaan yang terjalin selama tinggal di dekat Masjid Mujahidin, area Darus-Sunnah, memperkuat kesan Prof. Ali terhadap figur Pak Yai sebagai pribadi yang sangat kritis terhadap pemikiran yang menyimpang dari nalar ilmiah. Kepedulian Pak Yai terhadap kajian Al-Qur’an dan tafsir begitu besar, setara dengan komitmennya dalam ilmu hadis. Meskipun dikenal sebagai pakar hadis, kiprah awal Pak Yai justru banyak menyentuh aspek penafsiran Al-Qur’an, sebelum kemudian ia menerima amanah untuk mendalami dan mengajarkan hadis.
Prof. Ali juga menjadi sosok yang mengusulkan nama “Darus-Sunnah” untuk lembaga yang dibangun Pak Yai. Nama itu dipilih untuk membedakannya dari lembaga serupa di Malang yang memiliki corak pemikiran ekstrem. Identitas visual lembaga pun disempurnakan dengan logo karya Ustadz Abdullah Muntaha, seorang kaligrafer andal. Hal ini mencerminkan karakter Pak Yai yang perfeksionis dan sangat menjaga kualitas, baik secara isi maupun tampilan.
Komitmen dalam Tafsir dan Hadis
Dalam bidang tafsir, Pak Yai dikenal sangat tegas. Ia tidak segan mengkritisi tafsir-tafsir yang beredar di media massa bila dinilainya melenceng dari kaidah ilmiah. Saat gelombang pemikiran Islam liberal (JIL) mencuat, Pak Yai menanggapi dengan keras, bahkan secara satiris menyebutnya sebagai “Jaringan Iblis Liberal” karena pendekatan tafsir bil-ra’yi yang mereka gunakan dinilai telah melewati batas kewajaran dan otoritas.
Ia juga konsisten meluruskan narasi-narasi keagamaan yang disampaikan oleh pendakwah yang dinilainya berlebihan, terutama yang berkaitan dengan tafsir dan hadis. Salah satu contoh sikap ketegasannya dalam tafsir terlihat dari cara ia memahami surat Ali Imran ayat 112. Bagi Pak Yai, frasa “hablun minallah wa hablun minannas” tidak dapat dimaknai secara luas sebagai hubungan dengan sesama manusia, melainkan lebih tepat diartikan sebagai “jizyah” dalam konteks Ahlul Kitab, berdasarkan tafsir bil-ma’tsur.
Ia menekankan, selama masih memungkinkan menggunakan tafsir berbasis riwayat (bil-ma’tsur), maka jangan tergesa menggunakan pendekatan akal (bil-ra’yi). Menutup penuturannya, Prof. Ali Nurdin menyatakan bahwa siapapun yang pernah mengenal Pak Yai pasti akan sepakat bahwa beliau adalah sosok yang sangat istiqamah dalam menjaga kemurnian tafsir Al-Qur’an dan autentisitas hadis. Keteguhan dan integritas ilmiahnya menjadi warisan berharga dalam tradisi penafsiran di Indonesia.
Sahabati Fauziah Nur Hasanah
Kader PMII Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Perguruan Tinggi Umum Cabang Ciputat
Editor: Sahabati Fitri YantintFitri Yantii
0 Komentar