Hidup merupakan anugerah tuhan kepada manusia dan untuk hidup sesuai manusia harus memiliki tujuan hidup, dengan begitu manusia mempunyai alasan untuk memaknai dan menjalani hidup. Kendati banyak manusia di luar sana yang bercerai dengan hidupnya, dalam buku fenomenal Mite Sisifus karya Albert Camus seorang filsuf absurdian kenamaan Aljazair dikatakan bahwa perceraian itu disebabkan oleh harapan yang terbatalkan kenyataan, sehingga kemudian bagi mereka yang tidak mampu menerima realitas eksternal merasa bahwa hidup sudah tidak pantas untuk dimaknai dan dijalani. Akhirnya, ia menyerah pada hidupnya.
Sudah bukan rahasia umum lagi bila kehidupan menyangkut dua ruang berbeda, yakni fisik dan metafisik. Manusia akan memulai perjalanannya dengan mengkontruksi hal apa yang mungkin dapat dilakukan dalam pikirannya (think an rethinking) dan mulai untuk merealisasikan hal tersebut. Tentu bentukan epistemologi manusia merupakan hal fundamental yang mampu mempersuasi segala bentuk tindakan dan perilaku. Oleh karna itu bentuk dan anatomi pikiran manusia merupakan struktur evidensial yang mesti diperhatikan.
Umumnya manusia berevolusi dalam dua bentuk yakni: perubahan bentuk pikiran secara pasif yang disesuaikan oleh norma dan kondisi sosial (autoplastic) serta perubahan lingkungan yang secara aktif disesuaikan oleh pengaruh aktivitas pikiran dan keinginan individu (alloplastic). Kedua hal tersebut memiliki tenggat waktu dalam evolusi manusia.
Fase berikut selalu meliputi kehidupan manusia, hal ini dapat dilihat dengan mudah biasanya terjadi pada fase kanak-kanak, ketika peletakan dasar pengetahuan terjadi. Dalam pemisahan mental perkembangan anak-anak yakni: sadar, pra sadar dan tak sadar menurut Sigmund Freud dalam bukunya, Introduction Lectures, melalui konsep ide, ego, super ego dikatakan bahwa kualitas dan variabel bentukan pikiran terjadi atas dasar organisme manusia yang kerap kali bertentangan dengan realitas eksternal.
Psikoanalisis Freud: Ide, Ego, dan Super Ego
Manusia perlu mengetahui kualitas apa yang membentuk mental dan pikiran, sehingga kemudian dapat menerima keberadaan dan keadaan sosialnya. Konsep ide disajikan sebagai hal yang beorientasi pada tuntutan primitif naluriah manusia. Hal itu sama sekali tidak terintervensi oleh keadaan moral dan sosial. Ciri khas yang diberikan Freud dalam mengidentifikasi ide terletak pada tuntutan tanpa syarat bagi kepuasan (impuls) yang bersifat irasionalitas dan amoralitas.
Ide selalu mengandung naluri hidup dan mati, yakni merupakan kualitas-kualitas rasial yang diwariskan oleh kerajaan binatang. Dengan ide manusia akan merealisasikan nalurinya melalui cara apapun untuk meraih kesenangan, karnanya tindakan itu sama sekali tidak mengenal batas-batas realitas eksternal. Adapun konsep ego digambarkan sebagai penengah antara ide dengan realitas eksternal. Ia dimaksudkan untuk mencari rute dalam mewujudkan naluriah manusia sekaligus mengenalkannya pada batas-batas realitas eksternal. Itu artinya ego bersifat semi netral, sesekali ia bertolak belakang dengan naluri manusia, sesekali ia seturut dengan naluri manusia.
Freud menekankan ego dengan memberi analogi seperti kuda dengan kusirnya. Kusir mungkin dapat menentukan arah mana yang baik untuk dipilih, namun terkadang kita jumpai kuda tidak sesuai dengan instruksi yang diberikan kusir. Kemudian konsep super ego bertindak seperti orang tua, bahwa anak-anak selalu memandang orang tua sebagai sang maha mengetahui, sehingga tidak memberi jarak anak untuk tidak meniru atau melakukan apa yang orang tua katakan.
Super ego ini bersifat objektif, sebab ia merupakan stimulasi luar secara metafisik yang mendorong anak untuk bertindak baik dan buruk seturut dengan pikirannya yang sudah terlebih dahulu terintervensi. Dengan pikiran yang sudah mengenal batas-batas realitas eksternal, serta pengetahuan yang dianggapnya benar, maka hal yang mungkin anak lakukan adalah sesuai dengan sesuatu yang ia terima dari kualitas-kualitas pengetahuan (super ego) dan kondisi realitas eksternalnya.
Dengan itu tidak mengherankan pula jika manusia mungkin bercerai dan menyerah pada realitas eksternal. Hal itu akan selalu terjadi apabila manusia tersebut mengalami distingsi dalam memahami sesuatu yang mungkin, dimungkinkan, dan tidak mungkin. Batas-batas realitas selalu memberi hal di luar prediksi manusia sehingga kemudian itu menjadi hal yang mendasar untuk bisa menekan atau tidak nya impuls-impuls manusia.
Ilmu Pengetahuan dan Agama sebagai Titik Balik Kehidupan
Dengan ilmu pengetahuan seyogyanya dapat menstimulasi tindakan menjadi lebih baik lagi. Ia mungkin merubah prediksi menjadi prediktif, bahkan jika tidak, ia mampu menyabotase kegagalan menjadi menyenangkan dalam ruang kontemplasi, sehingga menekan angka kematian akibat perceraian manusia dengan hidupnya. Sudah seharusnya segala unit dan kualitas yang memiliki relasi untuk selalu menjadi alat transportasi manusia menuju keharmonisan.
Jika saya boleh katakan bahwa peranan agama sangat positif dalam mereduksi permasalahan ini. Hal ini tentu bersandar pada neurotik-psikotik manusia yang tergunjang menjadikan agama sebagai titik balik kehidupan. Hal ini terdapat pada syariat maupun tirakat yang bermanfaat untuk menekan impuls dan sikap infatil manusia dalam bertindak, sehingga kemudian pikiran dan kekecewaan yang direalisasikan dapat berdampak positif
Referensi
Reuben Osborn; Marxisme an Psikoanalisis
Albert Camus; Mite sisifus
Sigmund Freud; Introduction Lectures
Sahabat Ihdan Nazar Husaini
Presiden Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2024-2025 M
Kader PMII Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Perguruan Tinggi Umum Cabang Ciputat
Editor: Sahabati Lia Luthfiani
0 Komentar