Khittah NU : Larangan Berpolitik?


Seruan "NU harus dikembalikan kepada khittah-nya!" bukanlah narasi yang asing bagi kalangan Nahdliyyin (struktural maupun kultural). Namun, apakah seruan tersebut bermakna NU tidak boleh ambil peran dalam aspek politik? Narasi demikian, agaknya rawan disalahpahami dan justru terkesan menyempitkan ruang gerak NU. Untuk meluruskan pandangan tersebut, dibutuhkan sebuah syarah yang jelas terkait khittah.

Garis besarnya secara genealogis, embrio khittah ini bermula dari isi Mukadimah Qanun Asasi yang dituliskan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari. Kemudian spirit perjuangan dan pemikiran khittah dilanjutkan oleh putra beliau sendiri, yakni KH. Wahid Hasyim yang menjelaskan dua kekuatan penggerak NU, yaitu kekuatan populis tenaga massa di tangan para kiai dan kekuatan manajer organisatoris (tenaga mobil). Era berikutnya KH. Ahmad Shiddiq menggagas Khittah Nahdliyyah dan al-Fikrah al-Nahdliyyah yang dideklarasikan pada Muktamar Situbondo tahun 1984. 

Beliau meneruskan penjabaran dari KH. Wahid Hasyim tentang tenaga penggerak NU. Menurut KH. Ahmad Shiddiq, terdapat empat pilar kekuatan NU, yaitu rakyat, ulama, politisi / pengusaha / birokrat, dan generasi muda. Selanjutnya, ide tersebut dielaborasi oleh KH. Muchith Muzadi yang ditandai dengan berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai wadah berpolitik warga Nahdliyyin di era reformasi kala itu.

Dalam buku Ngaji Khittah NU untuk Pemula, Ahmad Baso menuliskan "berbicara tentang khittah tidak bisa dilepaskan dari mata rantai sanad khittah tersebut sejak awal mula kemunculannya". Dari tiap-tiap pemikiran keempat tokoh tadi, kesemuanya tidak lepas dari komitmen keislaman dan kebangsaan NU dalam skala nasional maupun global yang diistilahkan sebagai khittah kulli (universal). Salah satu pelaksanaan komitmen tersebut adalah melalui tindakan politik dengan strategi yang berbeda-beda dari masa ke masa. Pun demikian pada aspek kehidupan yang lainnya.

Berbicara khittah berarti menggali sejarah panjang yang tidak akan cukup dibahas lewat tulisan yang amat singkat ini. Adapun tulisan ringkas ini ditujukan sebagai pengingat bagi kita bahwa NU punya garis pijaknya. Sebagai organisasi yang memiliki benang merah dengan NU, harapannya PMII dapat meniru spirit perjuangan dan transformasi paradigma sehingga kebermanfaatannya bisa lebih dirasakan oleh seluruh masyarakat nusantara.

Sahabat Yazid Bustomi

Kader PMII Rayon Al-Harokah Komisariat Kebayoran Lama Cabang Jakarta Selatan

Editor: Sahabati Lia Lutfiani 


Posting Komentar

0 Komentar