Kemerdekaan memiliki makna yang luas dan telah dibahas dalam berbagai bahasa serta perspektif. Dalam bahasa Sanskerta, kata merdeka berasal dari maharddhika, yang berarti kaya, sejahtera, atau berdaya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kemerdekaan diartikan sebagai keadaan bebas, lepas dari belenggu, dan memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Sementara dalam bahasa Arab, kata yang sering digunakan untuk menggambarkan kemerdekaan adalah al-hurriyah, yang berarti kebebasan atau keterlepasan dari belenggu, baik fisik maupun non-fisik.
Kemerdekaan dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an tidak mendefinisikan kemerdekaan secara tersurat, tetapi beberapa ayat menjelaskan maknanya secara tersirat melalui kisah para nabi.
Pertama, kisah perjalanan spiritual Nabi Ibrahim dalam mencari Tuhan yang sejati menggambarkan makna kemerdekaan sebagai kebebasan berpikir dan berkeyakinan. Allah berfirman dalam QS Al-An’am: 76-79 tentang bagaimana Ibrahim menolak menyembah bintang, bulan, dan matahari, lalu berikrar untuk hanya menyembah Allah yang Maha Esa. Ini menunjukkan bahwa kemerdekaan sejati adalah kebebasan dari kesesatan menuju kebenaran.
Kedua, kisah Nabi Musa yang membebaskan Bani Israil dari perbudakan Fir’aun menggambarkan makna kemerdekaan dalam konteks sosial dan politik. Dalam QS Al-Baqarah: 49, Al-A’raf: 127, dan Ibrahim: 6, diceritakan bagaimana Fir’aun menindas kaum Nabi Musa dengan memperbudak mereka, membunuh anak-anak laki-laki mereka, dan menindas dengan kekejaman. Kemerdekaan dalam kisah ini berarti terbebas dari tirani dan penindasan.
Ketiga, keberhasilan Nabi Muhammad SAW dalam mengemban misi kenabian juga mencerminkan makna kemerdekaan. Dalam QS Al-Maidah: 3, Allah menyatakan bahwa Islam telah disempurnakan sebagai agama dan nikmat bagi manusia. Ini menandakan kemerdekaan spiritual, yaitu kebebasan untuk menjalankan keyakinan tanpa tekanan.
Kemerdekaan Menurut Ibnu ‘Asyur
Ibnu ‘Asyur dalam Maqasid al-Syari'ah al-Islamiyah membahas kemerdekaan (al-hurriyah) dalam dua makna utama. Pertama, kemerdekaan sebagai lawan dari perbudakan, yaitu hak setiap manusia untuk hidup tanpa belenggu perbudakan fisik. Kedua, kemerdekaan sebagai kemampuan seseorang untuk mengatur dirinya sendiri dan urusannya tanpa tekanan dari pihak lain.
Menurutnya, syariat Islam menjunjung tinggi beberapa aspek kebebasan, yaitu kebebasan berkeyakinan (hurriyyah al-i'tiqad), kebebasan bekerja dan berwirausaha (hurriyyah al-a'mal), serta kebebasan berpendapat dan bersuara (hurriyyah al-aqwal), termasuk kebebasan untuk belajar, mengajar, dan berkarya (hurriyyah al-'ilmi wa al-ta'lim wa al-ta'lif). Hal ini menunjukkan bahwa Islam menghormati hak individu dalam berbagai aspek kehidupan, selama kebebasan tersebut tidak menimbulkan mudarat bagi diri sendiri maupun orang lain.
Batasan Kemerdekaan dalam Islam
Meskipun Islam menjunjung tinggi kemerdekaan, kebebasan manusia tetap memiliki batasan. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah:
اِعْمَلُوْا مَا شِئْتُمْ ۙ اِنَّهٗ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
"Lakukanlah apa yang kamu kehendaki! Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS Fushshilat: 40)
Imam Al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil menjelaskan bahwa kebebasan manusia harus disertai dengan tanggung jawab. Perintah untuk berbuat sesuai keinginan harus dipahami dalam konteks bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi. Jika perbuatan itu membawa kebaikan, maka harus dilakukan semaksimal mungkin. Namun, jika sebaliknya, lebih baik ditinggalkan.
Kemerdekaan dalam Islam bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab. Setiap individu memiliki hak untuk hidup merdeka, namun tidak boleh sampai merugikan hak orang lain. Seperti yang dikatakan Kahlil Gibran, "Hidup tanpa kebebasan seperti tubuh tanpa roh." Oleh karena itu, dalam Islam, kemerdekaan bukan hanya sekadar kebebasan dari belenggu fisik, tetapi juga kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan menjalani kehidupan yang bermakna dalam bingkai nilai-nilai yang benar.
Sahabat Rafly Bahrany Hafis
Kader PMII Rayon Pendidikan Agama Islam Komisariat Fakultas Tarbiyah Cabang Ciputat
Editor: Sahabati Fauziah Nur Hasanah
0 Komentar