Di pinggir jalan depan pasar tradisional, tepat di sebelah tukang cilok yang sibuk meniup asap arang, berdiri sebuah lapak kecil beralas terpal lusuh. Di atasnya, berjejer botol-botol air mineral tanpa label, tapi dengan keterangan mencolok: "Air Doa, Penarik Rezeki, dan Tolak Bala." Di sebelahnya ada batu-batu berwarna kusam yang dipajang ala perhiasan mahal. Si pedagang menyebutnya Batu Karomah, konon katanya pernah dipegang langsung oleh seorang kiai sepuh dari ujung pulau Jawa.
Fenomena macam ini bukan hal baru. Sejak agama jadi bagian hidup manusia, selalu ada yang ingin mendekatkan spiritualitas dengan benda-benda kasat mata. Masalahnya, di era digital dan ekonomi serba sulit, spiritualitas makin dipaketkan dalam bentuk produk-produk instan. Orang tak lagi diajak memahami makna doa, tapi langsung disuguhi air yang "sudah jadi" tinggal minum, semua urusan hidup beres. Sebuah paket lengkap iman instan, serupa mie gelas.
Religiusitas Instan dan Rasa Aman Palsu
Membeli air doa atau batu karomah memberi sensasi rasa aman. Seakan-akan dengan membawa pulang benda-benda "suci" itu, nasib buruk otomatis dijauhkan dan pintu rezeki dijamin terbuka lebar. Ini bukan soal percaya atau tidak percaya. Ini tentang bagaimana agama yang seharusnya memberi kedalaman spiritual - malah dikemas ala produk supermarket: jelas harga, jelas khasiat, bonus garansi surga.
Tak perlu pusing memahami tafsir Q.S. Ar-Ra'd: 11 tentang perubahan nasib. Cukup teguk tiga kali sehari sebelum makan, batu karomah dijanjikan sebagai "asisten pribadi" yang bekerja 24 jam mengalirkan rezeki, tanpa perlu repot membangun jaringan atau meningkatkan kompetensi.
Kalau dipikir-pikir, kenapa bisa laku? Jawabannya sederhana, karena orang butuh pegangan cepat di tengah hidup yang makin ribet. Ketimbang belajar tafsir ayat tentang sabar dan usaha, lebih gampang beli air doa seharga dua puluh ribu. Cepat, praktis, dan (katanya) pasti manjur.
Agama di Tengah Ekonomi Sulit
Fenomena ini juga tak lepas dari kondisi ekonomi yang makin menghimpit. Saat hidup makin susah, iman sering jadi sandaran terakhir. Tapi, di tangan pedagang kreatif, sandaran itu dipadatkan jadi produk komoditas. Air doa, minyak berkah, gelang takwa, hingga garam rukyah —semua dikemas dalam bahasa marketing yang menjanjikan solusi kilat.
Di satu sisi, ini bukti bahwa agama punya daya jual tinggi. Di sisi lain, ini juga memperlihatkan bagaimana spiritualitas diperlakukan seperti obat warung - sembarang masalah, tinggal cari produknya. Ada yang rumah tangganya goyang? Silakan beli air doa sakinah. Usaha seret? Coba pakai batu penglaris. Anak susah nurut? Ada garam rukyah. Semua serba ada kecuali ajakan berpikir kritis.
Antara Keyakinan dan Akal Sehat
Tentu sah-sah saja percaya pada berkah atau doa-doa yang ditiupkan oleh orang saleh. Keyakinan adalah hak pribadi. Tapi, saat keyakinan itu dikemas sebagai jualan masal dengan testimoni bombastis, di situ kita patut curiga. Apalagi jika produk-produk ini dijual bukan sekadar sebagai simbol, tapi sebagai solusi mutlak yang menggeser peran akal sehat.
Agama kalau sudah jadi komoditas sering kehilangan makna. Yang tersisa cuma kulit luar berupa ritual instan yang dijual cepat dan dibeli dengan harapan yang berlebihan. Padahal sejak dulu para kiai kampung selalu mengajarkan: "Berkah bukan dari airnya, tapi dari doa dan usaha yang kamu jalani sendiri."
Refleksi: Mau Dibawa ke Mana Iman Kita?
Lapak air doa dan batu karomah hanyalah contoh kecil. Di ruang digital, fenomena serupa terjadi lewat jualan jimat online, sabun bid'ah, sampai konsultasi spiritual berbayar via DM. Semua menawarkan rasa aman dan harapan di saat masyarakat butuh pegangan.
Pertanyaannya, apakah kita akan terus memperlakukan agama sebagai pasar spiritual? Atau kita mau mengambil jarak? Mulai belajar lagi dari kitab-kitab lama, dari ceramah-ceramah bernash yang mengajarkan bahwa berkah bukan barang jualan, melainkan hasil dari proses panjang: beriman, berpikir, dan berbuat baik tanpa pamrih.
Di tengah zaman yang serba buru-buru, kita hanya butuh mengingat satu hal: Tuhan tidak menjual tiket surga di pinggir jalan. Apalagi dengan bonus air doa dan batu karomah.
Sahabat Yusril Ardhana
Kader PMII Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Perguruan Tinggi Umum Cabang Ciputat
Editor: Sahabat Rakan Abdel Jabar
0 Komentar