Demokrasi bisa dikatakan dengan supremasi sipil yang di mana semua urusan politik, pemerintahan, dan lainnya di bawah tangan sipil. Namun apa jadinya jika demokrasi dilangkahi oleh militer? Apakah bisa militer berada di pemerintahan sipil? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu memang layak dilontarkan ketika kita melihat keadaan Indonesia saat ini. Dengan adanya UU TNI yang baru, banyak yang berspekulasi bahwa militer bisa mengebiri supremasi sipil, mempersempit ruang pendapat, otoriterianisme dalam demokrasi, dan lainnya.
Perlu kita ketahui bahwa demokrasi sejatinya memiliki doktrin yang berbeda dengan militer. Demokrasi mengedepankan diskusi, diplomasi, dan musyawarah sedangkan militer bersifat komando hierarkis, patuh, dan tidak perlu bertanya lebih banyak kepada atasan. Hal ini karena militer bersifat praktis sedangkan demokrasi bersifat teoritis sehingga dalam demokrasi masih terdapat pertimbangan terlebih dahulu dan setiap orang memiliki hak menolak atau menerima.
Saya mengutip Chris Donnelly (2006) dari NATO yang mendefinisikan pengendalian demokratis sebagai peran pemerintah yang berwenang untuk mengarahkan kegiatan militer dan juga peran parlemen dalam memberikan pengawasan kepada militer dan pemerintah. Sederhananya, militer harus berada di bawah kendali sipil dan militer tentunya harus diawasi. Tentunya militer adalah penjaga yang memegang senjata dan perlu ada pengawasan kepadanya agar tidak menggunakan senjata sewenang-wenangnya. Penjaga dari penjaga itu adalah pemerintahan (sipil). Kemudian bagaimana jika militer masuk ke dalam pemerintahan sipil? siapa yang akan menjaganya?
Perbedaan Doktrin dan Sistem Kepemimpinan
Dalam esai yang singkat ini, saya tidak ingin menjadikannya subjektif dan berusaha semampunya untuk menjadikannya objektif dalam pembahasan kasus ini. Oleh karena itu, saya meminjam teori dari Michael Walzer mengenai konsep "Dua Tanggung Jawab Militer". Di dalam teorinya, militer memiliki tanggung jawab ke atas dan ke bawah. Dalam rantai komando, setiap prajurit perlulah mengetahui di mana posisinya berada. Tentu dia harus mengetahui kepada siapa dirinya memiliki tanggung jawab.
Michael Walzer memberi contoh dengan perwira yang sedang berada di medan perang. Tanggung jawab ke atas ialah kepada komandannya, panglimanya, presiden, dan teratas tentunya ialah rakyat atas menangnya perang. Berkewajiban pula baginya mematuhi perintah atasan sembari memikul kewajibannya dalam memenangkan perang.
Selain itu, perwira juga punya tanggung jawab ke bawah terhadap prajuritnya yang menjadi pionir kemenangan atau suksesnya misi. Pada satu sisi, prajuritnya ialah individu yang memiliki nyawa dan perasaan sehingga perwira harus meminimalisir korban jiwa dari prajuritnya dengan cara apapun. Konsep tanggung jawab itu dinamakan dengan "Tanggung Jawab Hierarkis Militer". Begitulah kira-kira cara kerja doktrin dan konsep kepemimpinan militer.
Berbeda sekali dengan demokrasi yang lebih mengutamakan suara dari segala arah dan terus melakukan perundingan juga pemilihan dalam menghasilkan sebuah solusi. Dalam demokrasi, semua hal perlu adanya pembahasan terlebih dahulu, baik politik, agama, militer, dan lainnya. Pertanyaan yang paling masuk akal adalah “jika militer berada di pemerintahan sipil, lantas siapa yang akan mengawasi militer?” Oleh karena itu, jika militer ingin masuk pemerintahan sipil haruslah melepaskan senjatanya terlebih dahulu dan mundur dari jabatan kemiliterannya.
Ancaman Otoritarianisme Terhadap Demokrasi
Selanjutnya saya akan menjelaskan bahwa militer cenderung otoritarianisme. Keterlibatan militer dalam jabatan sipil dapat membuka peluang kembalinya praktik otoritarianisme dan dwifungsi ABRI sebagaimana yang pernah terjadi di masa lalu. Mari kita menilik sejarah Orde baru yang di mana dwifungsi ABRI diterapkan! Hal itu menjadikan militer dapat masuk ke dalam sektor ekonomi, politik, dan masih banyak lagi.
Belum lagi kita lihat pula pada orde baru banyak sekali tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto. Berapa puluh tahun Soeharto menjabat dan berapa kali pelanggaran HAM, pembungkaman pers, tindakan represif, dan tindakan-tindakan tidak bermoral lainnya terjadi pada saat itu? Itu semua menandakan bahwa negara yang dipimpin oleh militer membuka peluang adanya otoritarianisme. Sebagaimana penjelasan saya sebelumnya, doktrin kepatuhanlah yang menjadi jembatan utama otoriter.
Dengan tulisan ini, saya berharap bisa menyumbangkan tenaga saya untuk memberikan wawasan dan membuka fakta secara ilmiah mengenai kasus yang sedang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini. Pada intinya, militer haruslah di bawah kendali sipil karena jika tidak, maka bersiap-siaplah negara anda akan menjadi negara yang dipimpin oleh seorang diktaktor. Sejarah orde baru merupakan suatu alasan utama untuk menolak segala tindakan militer yang sewenang-wenang di negara Indonesia.
Referensi
Kardi, Koesnadi. (2014). "Demokratisasi Relasi Sipil–Militer pada Era Reformasi di Indonesia." Masyarakat: Jurnal Sosiologi, 19(2).
Imawan, Riswandha. (2005). "Kepemimpinan Nasional Dan Peran Militer Dalam Proses Demokratisasi." Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 9(1).
"Militer di Jabatan Sipil, Ancaman bagi Demokrasi." SUARA USU, 21 Maret 2025.
Walzer, Michael. 2004. Arguing about War. New Haven: Yale University Press.
Sahabat Muhammad Lutfi Firdaus
Kader PMII Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Perguruan Tinggi Umum Cabang Ciputat
Editor: Sahabati Fitri Yanti
0 Komentar