Menjawab Tuduhan dalam Tulisan “Gaduh Nasab dan Krisis Arah NU” Part 2

Latar Belakang dan Urgensi Kajian Nasab

Langsung melangkah pada sub judul beliau, “Ironi di Tengah Krisis, Isu Nasab Sebagai Pengalihan”. Kenapa melangkahi sub judul sebelumnya? Karena saya pun menyepakati yang beliau katakan dalam sub judul “Distorsi Aswaja dan Dampak Buruknya”. Seperti sebelumnya saya katakan, kita harus pintar memilah dalam menerima pemikiran atau dalam hal apapun dari berbagai arah, apalagi yang mengatasnamakan Aswaja.

Dinyatakan bahwa kajian nasab mengenai penolakan terhadap klaim keturunan Nabi oleh sebagian kelompok Ba’alawi dianggap sebagai bagian dari pengalihan isu politik yang terjadi di kalangan elite NU. Pandangan ini menurut saya itu keliru dan perlu diluruskan. 

Kajian nasab yang dilakukan bukanlah produk dari manuver politik atau sensasi media, melainkan lahir dari kegelisahan ilmiah yang mendalam terhadap keabsahan klaim keturunan serta dampaknya terhadap otoritas keagamaan dan praktik sosial umat Islam.

Kajian tersebut berangkat dari fenomena yang berkembang di masyarakat, terutama di media sosial dan ruang publik, di mana sekelompok oknum menyatakan diri sebagai cucu Nabi Muhammad saw. tanpa verifikasi nasab yang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. 

Dalam menanggapi hal itu, K.H. Imaduddin Usman menyusun sebuah riset yang sistematis, menggunakan metode library research dengan pendekatan historis-kritis. Beliau menelaah kitab-kitab nasab klasik lintas generasi dan mengolah data secara rasional dan objektif.

Dengan demikian, kajian ini bukanlah isu politis, melainkan ikhtiar akademik yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran ilmiah dan kemurnian ajaran Islam. Justru menjadikan isu nasab sebagai sekadar pengalih perhatian politik adalah bentuk reduksi terhadap persoalan yang jauh lebih kompleks dan fundamental.

Menuju ke latar belakang, tidak sedikit tokoh yang mengklaim dirinya sebagai keturunan Nabi Muhammad saw., dan pengakuan semacam ini kini semakin sering disampaikan secara terbuka melalui media massa. 

Klaim tersebut tentu bukan perkara sepele, sebab ia menyentuh wilayah sakral dalam tradisi Islam, yakni otoritas keagamaan, legitimasi sosial, dan bahkan pengaruh dalam ranah dakwah. Lebih dari itu, para tokoh yang mengaku sebagai keturunan Nabi pun, dalam kenyataannya, tidak selalu mencerminkan akhlak dan keteladanan Rasulullah saw.

Inilah yang mendorong K.H. Imaduddin Usman untuk menyikapi fenomena ini secara serius, bukan dengan prasangka, melainkan melalui riset ilmiah yang ketat dan bertanggung jawab, berlandaskan kitab-kitab nasab yang kredibel dan relevan secara historis. 

Penelitian ini bukan sekadar tanggapan terhadap klaim, tetapi ikhtiar menjaga agar kebenaran tidak dikaburkan oleh simbol-simbol yang tak terverifikasi. Dalam konteks itulah, isu nasab bukan sekadar urusan asal-usul, melainkan bagian dari upaya menjaga kemurnian sejarah Islam dan mencegah manipulasi simbolik yang dapat mengaburkan kebenaran agama.

Metode Yang Di Gunakan K.H. Imaduddin Usman dalam Mengkaji Nasab

Ilmu nasab adalah ilmu yang darinya diketahui susunan keturunan manusia, baik secara umum (kulliyyat) maupun secara terperinci (juz'iyyat) dengan tujuan utama untuk menghindari kesalahan dalam penetapan nasab. 

Para ahli nasab menyebutkan bahwa ada enam metode dalam menetapkan nasab, salah satunya adalah melalui kitab-kitab nasab yang tersusun dari generasi ke generasi, dan setiap nama yang disebut tidak boleh bertentangan dengan sumber lain yang sezaman atau yang paling dekat zamannya. K.H. Imaduddin Usman menggunakan pendekatan library research, yaitu dengan mengumpulkan dan menelaah kitab-kitab nasab, kitab tarikh, serta kitab fikih. 

Kitab-kitab tersebut dianalisis secara mendalam menggunakan metode looking down (mubashath), yakni menelusuri jalur nasab dari Nabi Muhammad saw. ke bawah sampai pada individu yang dikaji. Dengan cara ini, beliau tidak hanya memverifikasi klaim, tetapi juga membangun argumentasi berdasarkan data valid yang bersumber dari teks-teks klasik berbahasa Arab.

Pesan penulis kepada pembuat artikel “Gaduh Nasab dan Krisis Arah NU”, menyebut kajian serius tentang validitas nasab sebagai sekadar ‘gaduh’ atau ‘pengalihan isu’ mencerminkan kekeliruan berpikir yang patut disesalkan, apalagi jika datang dari seorang akademisi. 

Alih-alih meremehkan, sudah seharusnya diskursus semacam ini disikapi dengan tanggung jawab ilmiah karena ia menyangkut keabsahan sejarah, kejujuran intelektual, dan marwah keagamaan umat Islam.

Kajian Ilmiah Tidak Pantas Disebut Sebagai Pengalihan Isu Politik

Berangkat dari fenomena pengakuan sejumlah tokoh yang mengklaim diri mereka sebagai cucu Nabi Muhammad saw. hingga munculnya fenomena sosial seperti pemalsuan makam, K.H. Imaduddin Usman melakukan verifikasi atas keabsahan nasab tersebut. 

Perlu ditegaskan kembali bahwa menakar keabsahan nasab hukumnya adalah fardhu kifayah (kewajiban kolektif umat Islam) dan tidak diperkenankan bagi seorang alim atau ulama menyembunyikan ilmunya dalam membongkar kepalsuan nasab, sebab hal itu termasuk bagian dari amar ma’ruf nahi mungkar

Dalam riset ini, K.H. Imaduddin Usman mengkaji kitab-kitab primer maupun sekunder dari abad ke-3 hingga ke-13, tanpa mengambil pendapat dari pihak yang memiliki konflik kepentingan, sebagaimana ditegaskan dalam kaidah ahli nasab. 

Lebih jauh, jejak akademik ini bukanlah yang pertama; sebelum beliau, para ulama besar seperti Ibnu Hazm, Tajuddin as-Subki, al-Hakim, adz-Dzahabi, dan Ibnu Hajar juga telah membongkar klaim nasab palsu dalam sejarah.

Indikator-indikator ini menunjukkan bahwa penelitian ini bermotivasi keagamaan dan ilmiah, bukan reaksi terhadap dinamika politik NU. Kajian ini bebas dari konflik kepentingan, berbeda dengan motif politik yang sarat muatan. 

Meneliti dan membantah klaim nasab adalah tradisi akademik para ulama terdahulu, bukan tindakan gaduh apalagi upaya pengalihan isu. Menyebut diskursus ilmiah ini sebagai "gaduh" justru merupakan bentuk pengingkaran terhadap amanah ilmu dan peran mulia ulama dalam menjaga keaslian ajaran Islam.

Konteks Sosial-Budaya dan Bahaya Kultus Nasab

Dahulu kala, bangsa Arab sangat memperhatikan nasab (genealogi), baik pada masa Jahiliyah maupun masa Islam. Pada masa Jahiliyah, orang-orang Arab saling berbangga dengan garis keturunan mereka. Namun dalam Islam, kemuliaan tidak lagi ditentukan oleh nasab, melainkan oleh ketakwaan kepada Allah Swt. 

Nasab tetap dijaga, tetapi fungsinya bergeser; bukan untuk kebanggaan, melainkan untuk menjalin silaturahmi antar keluarga. Umat Islam Indonesia sangat mencintai Nabi Muhammad saw. Karena cinta itu, mereka selama ini berperangsaka baik bahwa klan Ba‘alawi benar-benar keturunan Nabi. Namun seiring waktu, mulai muncul kecurigaan, benarkah Ba‘alawi keturunan Nabi? 

Kecurigaan ini bukan datang dari kebencian, tapi dari keprihatinan terhadap perilaku sebagian oknum yang mengaku Ba‘alawi yang justru mencederai nama besar Nabi. Mereka kerap terlibat dalam kasus-kasus zina, penganiayaan, mabuk-mabukan, hingga membawa-bawa nama Nabi saat meminta-minta. 

Hal ini tentu saja menimbulkan keresahan, terutama di kalangan para kiai dan umat Islam. Mereka lupa firman Allah dalam Q.S. Al-Hujurat: 13 yang berbunyi "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu."

Ironisnya, sebagian oknum Ba‘alawi merasa berhak atas penghormatan, bantuan materi, bahkan fasilitas istimewa hanya karena mengaku sebagai keturunan Nabi, tanpa memperhatikan akhlak dan amal. 

Inilah bahaya dari kultus nasab, ia bisa menggerus keadilan sosial, melemahkan prinsip keilmuan, dan menjauhkan umat dari nilai-nilai Islam yang sejati. Maka, penelitian terhadap klaim nasab bukanlah bentuk kebencian terhadap Ahlul Bait, tetapi justru ikhtiar untuk menjaga kemuliaan mereka dari klaim palsu yang mencemarkan.

Seruan untuk Kembali kepada Spirit Ilmu dan Kebenaran

Di tengah kegaduhan klaim nasab dan kebingungan umat terhadap siapa yang layak dijadikan panutan, kita perlu kembali kepada pijakan utama Islam: ilmu, akhlak, dan ketakwaan. Dalam sejarah Islam, kemuliaan tidak pernah diwariskan melalui darah semata, melainkan diperjuangkan melalui amal, ilmu yang bersanad, dan adab yang terjaga. 

Sudah saatnya umat Islam termasuk para akademisi dan tokoh agama menghentikan glorifikasi simbol tanpa substansi. Klaim keturunan tidak bisa menjadi dasar otoritas keagamaan jika tidak dibarengi dengan amanah, ilmu, dan integritas moral. 

Justru membiarkan klaim-klaim tanpa verifikasi menjadi alat legitimasi, akan merusak warisan Rasulullah saw. yang suci. Penelitian K.H. Imaduddin Usman bukanlah bentuk perlawanan terhadap Ahlul Bait, melainkan bentuk cinta yang hakiki; menjaga kemuliaan nasab Rasulullah dari pencemaran oknum yang tidak bertanggung jawab. 

Kajian ini adalah seruan kepada umat agar tidak mudah silau oleh gelar dan status, tapi mengedepankan nilai-nilai kebenaran dan kejujuran ilmiah. K.H. Imaduddin Usman menunjukkan bahwa menjadi ulama bukan hanya soal penguasaan kitab, tapi juga keberanian untuk menyuarakan kebenaran, meskipun tidak populer. Ketegasan beliau adalah cermin dari ulama pewaris Nabi yang sejati.

Colekan Pembaharuan Jangan Sampai Melupakan Warisan Mbah Hasyim

Warisan hadratussyaikh yang dijelaskan oleh sahabat Husein memanglah yang harus kita jaga bersama sebagai warga Nahdliyyin. Pembaharuan-pembaharuan yang datang sebisa mungkin kita harus telaah dan diteliti terlebih dahulu.  

Apapun bentuk pemikirannya, kita harus pintar-pintar menyaringnya karena sesuatu yang paling gampang masuk ke dalam diri manusia itu ada dua menurut saya, dosa dan doktrin.

Mari sama-sama kita jaga warisan dan pedoman-pedoman yang sudah diwariskan oleh Mbah Hasyim. Kita sebagai “kaum akademisi” harus bisa menjadi tameng utama dalam menjaga Aswaja. Karena kalau bukan kita, lantas siapa lagi? Bukan begitu? 

Salam hangat untuk penulis yang saya jawab tulisannya. Mohon maaf jika ada kekeliruan. Jangan lupa ibadah dan juga jangan lupa nasi goreng brebes samping Masjid Fathullah!

Sahabat Akhmad Rizal Kurniawan

Kader PMII Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Perguruan Tinggi Umum Cabang Ciputat 

Editor: Sahabati Lia Lutfiani

Posting Komentar

0 Komentar