Urgensi Maqasid Syariah sebagai Paradigma dalam Hukum Islam

Pemahaman terhadap maqasid syariah merupakan suatu keniscayaan dalam khazanah hukum Islam kontemporer. Ia bukan hanya dipahami sebagai tujuan filosofis hukum (filosofis normatif), tetapi juga sebagai metodologi istinbat hukum yang kontekstual dan relevan dengan dinamika zaman. 

Maqasid syariah memungkinkan hukum Islam untuk menjangkau substansi kemaslahatan dan nilai-nilai universal yang menjadi ruh syariat Islam. Tidak terkungkung dalam literalitas nash yang terbatas. Dalam kenyataannya, hukum tidak berdiri sendiri, tetapi beririsan dengan berbagai disiplin ilmu lain: sosial, politik, ekonomi, bahkan psikologi. 

Pendekatan Multidisipliner dan Keadilan Substantif dalam Maqasid

Hukum Islam sebagaimana halnya hukum positif, tidak bisa dipahami secara skripturalis semata, melainkan membutuhkan pendekatan multi dimensional. Hal ini untuk menghindari reduksionisme normatif, yaitu pemahaman hukum yang terlalu kaku dan terlepas dari realitas sosial.

Hukum harus memberikan keadilan substantif, bukan hanya kepastian normatif. Dalam studi hukum Islam, gagasan ini dikenal melalui maqasid syariah, suatu kerangka teoretik yang menekankan pada perlindungan dan pemeliharaan terhadap lima unsur utama: agama (al-din), jiwa (al-nafs), akal (al-‘aql), harta (al-mal), dan keturunan (al-nasl). 

Oleh karena itu, maqasid syariah mengajarkan bahwa hukum bukan hanya mengatur, tetapi harus memastikan nilai-nilai keadilan, kemaslahatan, dan rahmat secara menyeluruh.

Paradigma Baru dan Maqasid sebagai Jembatan Wahyu dengan Realitas

Paradigma baru ini dalam istilah Thomas Kuhn disebut sebagai shifting paradigm, yaitu perpindahan paradigma dalam melihat dan memahami realitas. Dari paradigma positivistik yang rigid dan tekstual, bergeser ke paradigma progresif, yang responsif terhadap perubahan sosial dan dinamisasi zaman. 

Maqasid syariah menjadi jembatan epistemologis antara nash dan konteks, antara wahyu dan realitas. Sebagaimana dikemukakan dalam karya al-Syatibi dan diperkuat oleh pemikiran kontemporer seperti Yusuf al-Qardhawi, pendekatan maqasidi meniscayakan fleksibilitas hukum dalam menghadapi perubahan zaman. Dalam al-Wajiz disebutkan:

"Inna al-nushus mutanahiyah, wal-waqi’ ghairu mutanahiyah",

"Teks-teks agama bersifat terbatas, sementara realitas kehidupan senantiasa berubah." 

Ini menunjukkan perlunya pendekatan progresif dan inovatif dalam melakukan istinbat hukum, agar hukum Islam tetap mampu menjadi solusi dan tidak tertinggal oleh perkembangan zaman.

Kritik terhadap Formaisme dan Stagnasi Tekstual

Mereka yang menolak inovasi dan menutup diri dari metodologi kontekstual, pada akhirnya akan terjebak dalam formalisme tekstual yang membatasi potensi hukum Islam. Sebagaimana dikritik oleh al-Qarafi dalam al-Furuq,

"Al-jumûd 'ala al-manqûlât abadan dalâlun fî al-dîn wa jahl bi maqâshidihi",

"Bersikukuh pada teks-teks (lama) secara statis selamanya adalah kesesatan dalam agama dan bentuk ketidaktahuan terhadap tujuan syariat itu sendiri."

Argumentasi ini mengisyaratkan bahwa maqasid bukanlah elemen tambahan dalam hukum Islam, melainkan kerangka utama dalam membentuk legal reasoning yang etis dan kontekstual.

Moderasi dan Toleransi dalam Perspektif Maqasid

Dalam tataran praksis, pemahaman maqasid syariah juga meniscayakan tawasuth (moderasi) dalam beragama. Pemahaman ini penting untuk merespon fenomena keberagamaan yang sering kali terjebak pada dikotomi ekstrem, antara yang terlalu liberal hingga yang terlalu literal. 

KH. Ma’ruf Amin pernah menyampaikan bahwa: "Selama ini belum ada Imamah Syakhsyiyyah, yang ada hanya Imamah Nahdliyyah, Muhammadiyah, dan lainnya. Maka harus ada Imamah Institusionaliyyah, atau pemimpin kelembagaan yang mampu mengkoordinir terwujudnya pemahaman tawasuthi."

Pernyataan ini menjadi penting dalam konteks kebangsaan dan keummatan hari ini. Moderasi atau wasathiyah hanya akan lahir dari pemahaman maqasidi yang mengutamakan nilai, bukan sekadar teks. Maka tugas umat hari ini adalah menciptakan wadah institusional yang mampu menyalurkan nilai-nilai maqasid kepada umat secara sistematis.

Toleransi dalam Khilafiyah Perspektif Maqasid Syariah

Dalam konteks khilafiyah, pendekatan maqasidi juga memberi kerangka toleransi terhadap perbedaan pendapat. Mereka yang memahami maqasid syariah dan prinsip tawasuth, akan bijak menyikapi perbedaan. 

Mereka sadar bahwa yang layak diperdebatkan adalah sesuatu yang sudah menjadi konsensus (ijma'), sedangkan perkara ikhtilaf bukanlah wilayah pertentangan kebenaran. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh al-Suyuthi dalam al-Asybah wa al-Nadha’ir:

"La yunkaru al-mukhtalafu fihi, wa innama yunkaru al-mujma’ ‘alayh",

"Tidak boleh diingkari terhadap sesuatu yang diperselisihkan, yang boleh diingkari hanyalah perkara yang telah menjadi kesepakatan."

Dengan demikian, maqasid syariah tidak hanya menjadi metodologi hukum, tetapi sekaligus menjadi etos keilmuan dan sosial dalam membangun masyarakat yang adil, inklusif, dan harmonis. Pengabaian terhadap maqasid sama saja dengan pengkhianatan terhadap ruh syariat Islam itu sendiri yakni rahmat, keadilan, dan maslahat.

Sahabat Muhammad Mirza Arfarazak “Don Arfa”

Kader PMII Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Perguruan Tinggi Umum Cabang Ciputat 

Editor: Sahabati Lia Lutfiani 

Posting Komentar

1 Komentar